Showing posts with label CERITA MISTERY. Show all posts
Showing posts with label CERITA MISTERY. Show all posts

BERSEKUTU DENGAN SILUMAN BUAYA PUTIH

oleh :zurmaiti



Kisah mistis ini diadaptasi dari sebuah kejadian nyata yang berlangsung di daerah pinggiran Sukabumi. Bercerita tentang seorang wanita kemaruk harta yang bersekutu dengan Siluman Buaya Putih....




Hanya karena kecewa usaha butiknya tak maju dan tak berkembang, Setiowati nekad ingin melakukan pesugihan. Dia bernafsu melakukan ini agar usahanya maju kembali dan ingin cepat-cepat kaya.

Ringkasan cerita, setelah bertanya ke beberapa dukun aliran sesat, Setiowati akhirnya menjatuhkan pilihan dengan memuju Raja Siluman Buaya Putih.

"Berjalanlah menyusuri aliran Sungai Ciliwung. Ketika kau temukan sebuah pohon beringin besar, maka berhentilah di sana. Lakukanlah semua petunjuk yang telah aku berikan padamu!" kata sang dukun, memberi petunjuk mistis.

Ya, pada hari yang ditentukan, wanita yang penuh dengan ambisi duniawi ini akhirnya berjalan menyusuri bantaran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor. Dia ingin secepatnya menemukan tempat yang tepat, dimana Raja Siluman Buaya Putih itu bercokol, dengan ciri seperti yang dijelaskan oleh dukun yang memberinya petunjuk, dan telah dia bayar dengan jumlah uang yang sangat besar. Karena itu, dia bertekad untuk tidak akan gagal.

Setelah seharian mencari, akhirnya dia menemukan juga. Tempat itu begitu sepi dan berada di pinggiran sungai yang banyak ditumbuhi pohon besar. Barangkali, tak banyak orang yang pernah menjamah wilayah ini. Di sana juga terdapat sebuah pohon beringin yang usianya diperkirakan sudah sangat tua. Setiowati merasa yakin, tempat inilah yang dimaksud oleh si dukun.

Setelah malam tiba, Setiowati langsung duduk bersimpuh di sisi pohon beringin tua yang berada di pinggiran sungai. Angin semilir yang menerpa rambutnya tak lagi dihiraukan. Begitu juga cahaya rembulan yang temaram tak dihiruakannya, meski sepertinya penuh dengan misteri. Dia coba berkonsentrasi. Namun, pikirannya kacau balau, sehingga terus mengembara memikirkan usahanya yang telah kandas.

Ya, usaha butik peninggalan almarhum suaminya itu kini telah bangkrut. Padahal dulu semasa suaminya masih hidup usaha ini cukup berkembang. Namun semenjak suaminya meninggal, sedikit demi sedikit usahnya itu mengalami kehancuran.



"Ah...aku tak boleh terus larut dalam kesedihanku. Aku ingin bangkit kembali, walau ini jalan sesat yang harus kutempuh!" batin Setiowati.

Dengan tangan gemetar, wanita yang terbiasa hidup dalam gelimang harta ini mulai membakar kemenyan di atas pedupaan yang telah dipersiapkannya. Bau tajam kemenyan menebar ke sekeliling, menerobos kimbunan pepohonan. Hembusan angin seakan membuat bulu kuduk merinding. Namun, Setiowati telah bertekad bulat dengan ambisinya. Karena itu, dengan sekuat hati dia berusaha menghilangkan perasaan takutnya.

Hatinya telah mantap untuk memanggil Raja Siluman Buaya Putih. Sesuai dengan petunjuk sang dukun, dengan perlahan bajunya dilepas satu persatu sambil mulutnya terus merapal sebuah mantera. Tak lama kemudian, da pun telanjang bulat. Sambil terus merapal mantera, tubuhnya yang tampak berkilat diterpa cahaya bulan yang tengah purnah, bergerak mengitari pedupaan.

Setelah tujuh kali putaran, tanpa peduli pada udara dingin dan rasa takut sedikitpun, dia pun menceburkan dirinya ke sungai. Mulai kaki, perut, dada sampai ujung rambutnya dia tenggelamkan ke dalam air sungai yang tenang itu.

Persis seperti yang dikatakan sang dukun kepadanya. Beberapa menit kemudian keanehan memang terjadi. Tiba-tiba dari kedalaman air sungai, sebuah suara terdengar memanggil-manggil namanya.

"Setiowati...Setiowati! Aku telah menerima kehadiranmu!" demikian kata suara itu.

Aneh, setelah suara itu sayup-sayup menghilang dari pendengaran Setiowati, lalu muncullah seorang pria tampan dengan pakaian kebesarannya. Di atas kepalanya terdapat mahkota bertatahkan intan berkilauan. Ah, penampilan si pria misterius ini sungguh sangat mempesona. Dia tak hanya tampan, tapi juga sangat gagah. Jauh dengan figur suami Setiowati yang kurus kerempeng akibat hampir sepanjang hidupnya digerogoti penyakit TBC.

"Ada keperluaan apa, kamu memanggilku?" tanya pria tampan itu dengan suara berwibawa.

Agak tergagap Setiowati menjawab, "Saya ingin kaya, dan usaha butik saya ingin kembali maju!"

"Baiklah...saya akan mengabulkan permintaanmu, namun dengan satu syarat. Apakah kau sanggup?"

"Syarat apakah gerangan itu?" tanya Setiowato, takjim.

"Setiap malam Jum'at kamu harus bertemu denganku dan mau melayaniku. Karena itu, kau harus menyediakan kamar khusus untukku."

"Baiklah, aku menyanggupi syarat itu!"

"Ingat, jika kamu ingkar janji, maka harta dan jiwamu jadi taruhannya. Apa kamu sanggup menaati permintaanku ini?"

"Saya sanggup menaatinya!"

"Baiklah, kalau begitu kau sekarang ikut aku!"

Singkat cerita, Setiowati dibawa masuk ke alam gaib yang terdapat di dalam aliran Sungai Ciliwung. Sepanjang perjalanan menuju istana Siluman Buaya Putih, Setiowati banyak melihat hal-hal aneh yang membuat dirinya kagum sekaligus takjub. Misalnya saja, dia melihat bangunan yang indah dan megah disertai para penjaga kerajaan yang gagah. Sesekali pula Setiowati memandangi para penjaga itu. Aneh, mereka sama sekali tidak mempunyai bibir bagian atas. Antara hidung dan bibir bawahnya langsung bertemu. Begitu pula dengan jari tangan dan jari kaki mereka tersambung. Ya, sungguh tak ubahnya bagaikan jari buaya.

Setelah sampai di suatu tempat yang indah, Setiowati dipersilahkan duduk di sebuah bangku yang bertahtakan bulu-bulu yang sangat indah. Sesaat lamanya, dia termenung mengagumi keindahan tempat itu.

Tanpa diketahui dan disadarinya, tiba-tiba di hadapan Setiowati telah berdiri sesosok lelaki dengan pakaian kebesaran sebperti layaknya seorang raja. Lelaki itu begitu tampan, tubuhnya atletis, tegap dan gagah. Kulitnya yang kuning langsat menambah penampilannya yang gagah itu sehingga terlihat semakin menawan.

Lelaki gagah itu segera menyalami Setiowati. Meski sedikit gugup, disambutnya uluran tangan itu sambil harap-harap cemas. Aneh, tangan itu begitu dingin, persis tangan mayat.

Namun keheranan Setiowati segera sirna saat aroma bunga melati menerpa hidugnnya. Bagaikan terangsang oleh wewangian aroma therapi, gairah birahinya mendadak begitu memuncak, terlebih di saat lelaki tampan itu menebar senyumnya. Ya, gejolak nafsunya yang selama ini terpendam sejak kepergian sang suami, meledak-ledak begitu lelaki tampan itu menyentuh bagian terlarang miliknya yang sangat pribadi.

Tak lama kemudian, mereka telah terlibat dalam sebuah adegan yang begitu menggairahkan. Tangan lelaki itu kian nakal dan berani memegang benda sensitifnya. Gairah asmara Setiowati yang tak pernah kesampaian kini ditumpahkan kepada lelaki tersebut, meski dia sebenarnya tak pernah tahu jatidiri pria itu yang sebenarnya.

Dengan mata terpejam dia menikmati permainan binal tersebut. Di tengah pergumulan, tanpa sengaja tiba-tiba kaki Setiowati terasa menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu itu terasa sangat kasar mirip sebuah gergaji. Setiowati segera membuka matanya dan menatap ke arah benda tersebut. Betapa kagetnya Setiowati, ternyata benda itu adalah ekor buaya. Yang lebih membuat dia histeris, ternyata dia kini tak lagi bergemul dengan seorang pria tampan tapi dengan seekor buaya putih yang sangat besar.

Dengan rasa takut, dia coba meronta, melepaskan diri dari tindihan makhluk siluman itu. Namun siluman itu berteriak dengan nada marah, "Awas, kamu jangan mengingkari kesepakatan yang telah kita buat. Apa kamu ingin tetap hidup dalam kemiskinan?"

Mendengar kata "kemiskinan" hati Setiowati kembali terenyuh. Ya, sungguh dia tak ingin kembali hidup dalam kemiskinan, sebab itu semua sungguh sangat meyakinkan. "Biarlah tubuhku dinikmati siluman buaya, yang penting aku bisa kaya raya," batinnya.

Sekuat hati dia coba untuk tabah. Walau terasa menyakitkan, dia biarkan sesuatu mengoyak miliknya yang paling pribadi itu. Tak ada kenikmatan yang dirasakannya. Yang dia peroleh hanya kegetiran. Namun hal ini seakan tak berarti manakala terbayang di dalam perlupuk matanya limpahan harta yang akan dia peroleh.

Usai melayani nafsu Siluman Buaya Putih yang sangat bergairah, Setiowati merasakan sangat lelah yang luar biasa, hingga tanpa terasa dia tertidur dengan pulas. Aneh, begitu terbangun dia mendapati tubuhnya yang telanjang bulat telah berada di pinggir sungai. Ya, di dekat pohon beringin keramat itu.

Sotiowati merasakan ketakutan yang teramat sangat. Namun, perasaan ini segera sirna manaka di sekitar tubuhnya dia mendaparkan intan, berlian, serta perhiasan mewah lainnya yang nampak berserakan. Betapa senangnya hati Setiowati, dan dia tersenyum penuh kemenangan.

"Selamat tinggal kemiskinan!" bisik batinnya. Dan, dia segera merapikan dirinya untuk pergi meninggalkan tempat keramat itu.

***



Beberapa hari setelah kejadian itu, Setiowati langsung membuka kembali usaha butiknya. Dan, dalam waktu yang tak begitu lama usahanya yang nyaris bangkrut kembali berkembang dengan pesat. Apa yang dikerjakannya selalu lancar, kekayaannya pun bertambah dan berlimpah ruah.

Kurang dari setahun, toko tempat usahanya diperluas, rumahnya pun dipugar dan ditingkat. Perabotan rumah tangganya seluruhnya diganti dengan yang mahal-mahal. Belum lagi mobil sedan yang kini telah terparkir di garasinya.

Namun, dibalik itu semuanya sifat dan tabiatnya mulai berubah. Dulu dia dikenal ramah dan murah senyum dengan para tetangga. Namun kini setelah dia kaya raya, tak ada lagi senyuman di bibirnya. Dia pun mulai pelit terhadap orang yang meminta sumbangan kepadanya.

Walau kekayaan telah diraihnya, dan usaha butiknya telah tumbuh dengan pesat, namun di dalam hatinya yang sangat dalam mulai muncul resah dan gelisah. Karena itu wajahnya yang cantik sering terlihat kusut. Bahkan, wajah itu kuan kusam tak beraura karena setiap malam Jum'at dia harus melayani nafsu buas Siluman Buaya Putih.

Ya, bila malam keramat itu tiba, maka sejak malam hari hingga menjelang subuh, dia harus rela tubuhnya dinikmati oleh Siluman Buaya Putih yang memberikan kekayaan terhadapnya. Terkadang dia menangis dan menahan rasa jijik jika tengah bergumul dengan siluman itu. Tak hanya wujudnya yang menjijikan, tapi nafsu seks makhluk itu juga sama menjijikannya. Dia begitu buas, hingga dalam sekali pertemuan bisa minta dilayani beberapa kali.

Tak hanya itu yang membuat Setiowati kian sirna gairah hidupnya. Yang lebih membuatnya tertekan ialah dia tak boleh menikah dengan pria lain. Kalau ini dilanggar, maka nyawalah yang jadi taruhannya.

Yang namanya penyesalan, memang selalu terjadi di belakang hari. Begitu pula dengan Setiowati. Dia merasa menyesal sebab telah bersekutu dengan Siluman Buaya Putih. Dia baru menyadari kalau ternyata kekayaan yang dimilikinya tetap tak membuatnya baghagia, malah membuatnya tambah menderita. Kini, terbesit di dalam hatinya untuk lari dari perjanjian gaib dengan siluman itu.

Pada suatu malam, dia berkemas seadanya. Tujuannya adalah ingin pulang ke kampung halamannya di daerah Sukabumi. Namun, belum lagi dia sempat membuka pintu, Siluman Buaya Putih itu telah muncul di hadapannya. Wajah makhluk itu kelihatan sangat marah, seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh Setiowati.

"Setiowati...mau kemana kau. Kau hendak ingkar janji kepadaku hah...?!" bentaknya.

"Siluman Buaya Putih, aku ingin bertobat dan lepas dari cengkeraman buasmu. Biarkan aku pergi tanpa sepeser pun harta pemberianmu!"

"Tidak bisa. Enak saja kau meninggalkanku setelah kau menikmati harta pemberianku. Kau harus tetap bersamaku dan menemaniku di neraka nanti!"

Merasa tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu, Setiowati berusaha berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta pertolongan. Siluman Buaya Putih kian murka. Dengan kekuatan gaibnya dia membakar rumah megah milik setiowati beserta isinya.

Sementar itu, para tetangga yang mendengar teriakan Setiowati berusaha memadamkan kobaran api. Sebagian lagi mencari Setiowati.

Beberapa jam kemudian kebakaran dapat diatasti, dan Setiowati dapat ditemukan warga dalam keadaan selamat. Namun, walau Setiowati telah ditolong warga, dia tetap saja berteriak ketakutan. Wajahnya memendam rasa takut dan kengerian luar biasa. Warga yang merasa kasihan membawanya ke rumah sakit, namun tetap saja tak ada perubahan. Dia selalu kalap seperti orang gila.

Sampai saat ini Setiowati sering berteriak sendirian seperti orang gila, dan memang kini dia telah gila. Di tengah jalan, di tengah kerumunan orang banyak, maupun di tengah pasar, dia selalu berteriak ketakutan. Namun, kadangkala dia menangis sesenggukan. Ya, dia gila akibat perjanjiannya dengan Siluman Buaya Putih.

Semoga cerita ini bisa diambil hikmahnya. Walau bagaimanapun bersekutu dengan setan, apapun jenisnya, tetap tak membawa keuntungan. Malah kerugian yang kita dapati. Dan yang pasti nerakalah tempatnya.

Ayahku Ternyata Siluman Babi

oleh : mawan suganda



Tak ada siapa-siapa dalam kamarku. Yang ada hanya seekor babi yang perutnya terburai. Dan, dia adalah ayahku......




Setelah menekuni studi selama enam tahun, hari itu aku pulang ke desa kelahiranku. Sepanjang perjalanan dari Bandung, hatiku dibuai perasaan gembira dan bahagia yang tiada taranya. Betapa tidak, aku kembali dengan mempersembahkan gelar kesarjanaan, jelasnya Insinyur Pertambangan. Alangkah senang dan bahagianya hati ayah, karena segala jerih payahnya tidak sia-sia, begitu benakku. Anak yang dibanggakannya di ka¬langan keluarga dan teman sejawat, telah memperoleh kemenangan dalam stu¬dinya.

Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika lepas maghrib tiba di rumah. Nampak banyak sosok-sosok tak jelas diantara warga desa yang memegang tombak, parang, arit, dan tali penjerat. Hatiku berdetak tidak karuan. Ada apa sebenarnya? Demikian pikirku. Beberapa belas meter di depan rumah, langkahku terhenti ketika terdengar suara raung¬an nyaring yang menyayat hati. Setelah kudengar dengan seksama, dapat dipastikan bahwa yang menangis itu adalah ibuku sendiri.



Apa yang telah terjadi, pikiranku semakin cemas. Apakah ibu menangis karena kematian ayah? Aku segera menghambur masuk ke dalam rumah. Tapi dipintu, ibuku sudah menyambutku, memelukku erat sekali sambil menangis meraung-raung. Kubiarkan dulu ibu me¬nangis, agar beban yang menghimpit dadanya bisa sedikit berkurang.

“Mana ayah, bu?” Tanyaku kemudian setelah ibu menghapus air matanya.

“Karena ayahmulah, makanya ibu menangis tadi, An,” sahut ibu.

“Lantas, sebenarnya apa yang terjadi atas diri ayah, Bu?” Desakku semakin penasaran.

Tapi ibu terdiam, kemudian menundukkan kepala. Beberapa sesepuh desa yang kukenal, seperti Mbah Kardi, Mbah Sudirun, Mbah Karta dan lain-lain, termasuk Kepala Desa pak Soleh, juga terdiam diri dan hanya memandangiku. Kelihatannya mereka se¬perti bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Ketika kutanyakan lagi di mana ayah, ibuku berpaling ke arah kamar. Kamar dalam rumah kami, hanya ada dua. Yang dekat dapur, itu adalah kamar ayah dan ibu. Sementara kamar yang satu lagi, dulu adalah kamarku.

Aku segera berlari menuju ke kamar ayah. Tapi ternyata kosong. Lalu aku keluar dan masuk ke kamar sebelahnya, bekas kamarku. Dalam kamar itu sudah tidak ada lagi ranjangku dan lemari pakaian. Dan di sudut kamar yang sudah kosong itu, kulihat seekor babi agak menyandar ke dinding. Perutnya luka, dan darah masih terus menetes. Yang mengherankan, pada sudut matanya tampak ada butiran-butiran air yang jernih.

Aku terbodoh-bodoh menyaksikan binatang tersebut. Kemudian aku membalikkan tubuh, berjalan dengan tergesa untuk menemui para sesepuh desa yang duduk diatas tikar seperti laiknya orang yang akan kenduri.

“Mana ayahku?” Tanyaku setiba di hadapan mereka.

“Apakah tak kau temukan di dalam kamar tadi?” Ujar pak Soleh.

Aku menatap kepala desa dengan perasaan diliputi keheranan.

“Tak ada siapa-siapa di dalam kamar,” kataku memastikan. ”Yang ada hanya seekor babi.”

“Dialah ayahmu, Andi,” ujar Mbah Kardi.

Mendengar keterangan itu kontan aku melongo, dan mata terbeliak. “Apa? Ayahku babi?” Tanyaku perlahan.

“Begitulah kenyataannya, An,” ujar kepala desa. “Kebetulan sekali malam ini kau pulang. Bertepatan dengan kejadian yang telah menggegerkan desa kita.”

“Jadi, ayahku babi?” Ulangku bagaikan tak yakin.

“Ya, ayahmu ternyata siluman babi, dan dia tidak berdaya sekarang. Dia terluka.”

“Ditombok?” Tanyaku.

“Kami tidak menyangka, bahwa babi yang menyusup ke desa kita adalah babi siluman, An. Kami memburunya, mengepung untuk mengusirnya. Tapi binatang itu melawan. Karena itu tidak ada pilihan lain, kecuali menombaknya. Dan kami terkejut sekali setika menyaksikan babi itu tidak lari kemana-mana, melainkan ke dalam rumah kalian. Aneh, bukan? Nah, dari keterangan Mbah Kardi, barulah kami tahu bahwa babi itu adalah ayahmu.”

Aku masih penasaran, namun kenyataan itu tidak dapat dibantah lagi.

“Kami sekarang sedang menunggu pemulihan jasad ayahmu, Andi,” imbuh kepala desa. “Kalau memang benar ayahmu siluman babi atau pemilik ilmu pesugihan babi ngepet, tentu dia akan berubah ujud kembali sebagai manusia menjelang kematiannya.”

Tiba-tiba terdengar lagi pekik ibuku, memanggil-manggil nama suaminya atau ayahku, dari dalam kamar. Bersamaan dengan itu kami menyerbu ke dalam kamar. Kemudian kami semua terdiam diri, memperhatikan dengan seksama apa yang bakal terjadi. Sementara itu ayahku, Subadi, tetap tak beranjak dari posisinya semula, seperti saat pertama kulihat tadi.

Keadaan terasa semakin mencekam ketika Mbah Kardi keluar dan masuk lagi sambil membawa pedupaan yang baranya dari tempurung kelapa. Dupa itu diletakkannya tepat di tengah-tengah pintu kamar. Kami segera menyingkir agak ke tepi, merapat ke dinding kamar.

Ketika kemenyan terbakar dan asapnya menyeruak memenuhi kamar, kami men¬dengar suara tangisan ayahku yang sangat menyayat hati. Mbah Kardi lalu meminta segelas air putih yang ke dalamnya sudah dimasukkan daun waru dan reramuan lainnya. Ibuku segera membawakannya, kemudian diletakkan di depan pedupaan. Sementara Mbah Kardi masih terus ber¬komat-kamit sambil memejamkan mata.

“Nasibmu telah ditentukan, Badi. Nasib yang kau pilih sendiri,” ujar Mbah Kardi kemudian seperti berkata pada diri sendiri. Tak lama, kelihatanlah perubahan sosok tubuh babi itu menjadi Subadi, ayahku. Namun luka di perutnya tidak hilang. Luka itu sangat parah, telah merobek perut dan memutuskan usus.

“Apa tak bisa lukanya disembuhkan, Mbah?” Tanya ibu.

Mbah Kardi menggeleng. “Suamimu malah sudah tidak bisa bicara lagi, Inah,” katanya kemudian.

“Kini apa yang harus kita lakukan?” Tanya ibu lagi.

Mbah Kardi mengangkat pundak. Lalu katanya, “tidak ada yang dapat kita lakukan lagi untuknya.”

Mendengar itu ibuku menangis lagi meraung-raung. “Mas Badi, lihatlah anakmu Andi sudah pulang,” teriaknya.

Ayah menatapku dengan pandangan sayu sekali. Bibirnya bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran lagi.

“Aku Andi, ayah,” kataku mempertontonkan diri.

“Aku telah lulus, Ayah. Aku telah jadi sarjana, seperti yang Ayah inginkan.”

Aku ingin ayahku gembira menyambut keberhasilanku. Tapi ia tak dapat mengatakan apapun lagi, selain mengangguk-angguk dengan mulut terkatup rapat.

Tak lama setelah ibu menjerit, ayah menutup mata untuk selama-lamanya. Perasaan malu bahwa ayahku babi siluman, kubuang jauh-jauh ketika aku ingin menyempurnakan penguburannya. Kebetulan, tak ada pula orang-orang desa kami, para sahabat dan handai tolan yang menyindirku. Mereka semuanya menyatakan ikut berduka cita dengan kematian ayah, biarpun ayahku ternyata babi ngepet.

Sesudah selamatan hari ke tujuh, aku mendatangi Mbah Kardi dan kepala desa. Aku meminta maaf atas kejadian yang telah menimpa ayahku. Selain itu, kepada mereka aku mohon doa restu, karena beberapa hari lagi akan pergi untuk memenuhi panggilan tugas di luar Jawa.



(Kisah mistis ini seperti yang dituturkan Andi, nama samaran)

Dendam Kesumat Mantan Kekasih

Makhluk itu begitu menyeramkan, perawakannya tidak jauh berbeda dengan manusia. Telinganya lancip seperti kurcaci, kepalanya polos tanpa sehelai rambut pun. Seluruh tubuhnya hanya terbungkus celana yang mirip celana dalam. Matanya merah menyala, tajam menusuk ulu hati......



Peristiwa magis ini berawal saat aku dan isteriku masih ngontrak di sebuah rumah di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Ketika peristiwa ini terjadi, isteriku tengah hamil tua. Sebelumnya aku menganggap kejadian gaib yang dialami isteriku ini wajar-wajar saja dikarenakan kehamilannya. Tentu sudah sering aku mendengar dari kawan-kawan perihal isteri-isteri mereka yang juga sering melihat hal-hal gaib saat sedang mengandung. Namun apa yang dialami oleh kami saat itu melewati batas kewajaran yang bisa diterima.

Suatu pagi yang cerah, mentari terlihat menyilaukan dari balik jendela kamar kontrakan kami. Seperti biasanya, setiap hari kalau bangun tidur isteriku langsug beranjak ke kamar mandi karena dia harus segera ke kantor yang lokasinya tak jauh dari rumah kontrakan kami. Sementara aku masih bermalas-malasan di tempat tidur menunggu giliran. Biasalah, perempuan memang selalu lama jika mandi, entah berapa kali ia menggosok tubuhnya dengan sabun, pikirku.



Tiba-tiba aku dikejutkan oleh teriakkan histeris isteriku dari kamar mandi yang membuatku setengah melompat turun dan berlari menuju kamar mandi tempat isteriku berteriak-teriak. Tiba di situ aku mendapati isteriku yang pucat pasi seperti telah melihat sesuatu yang benar-benar membuatnya sangat ketakutan. Mulutnya melongo dengan mata membelalak tak berkedip.

Aku segera memeluk dan berusaha menenangkannya. Setelah beberapa saat lamanya isteriku tenang oleh segelas air putih, dia menceritakan apa yang baru dialaminya. Ternyata dia melihat seekor ular besar di dekat bak mandi dimana ular tersebut sangat aneh bentuknya. Ular besar itu hanya terlihat setengah badan sedangkan buntutnya berupa asap yang sangat tebal.

Kemudian ular besar itu semakin mendekati isteriku seakan hendak menyerangnnya. Tentu saja isteriku berteriak dengan histeris. Diantara teriakkan histerisnya, dia mengucapkan “Allahhu Akbar” berulangkali dalam hatinya (maklum isteriku belum lama menjadi mualaf hingga dia belum begitu hafal ayat-ayat atau doa-doa. Jangankan doa, saat ruku pada saat sholat saja dia sering tersandung karena belum terbiasa).

Allah Maha Penyayang umat-Nya, tiba-tiba sebuah sinar putih tampak menghantam ular itu sebelum sempat melukai isteriku. Entah dari mana datangnya, sinar putih itu tiba-tiba saja menyambar badan ular yang tengah menjulur mendekati isteriku. Ular itu menghilang bersamaan dengan hilangnya sinar putih tersebut dari pandangannya. Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap seperti sebuah film pendek di televisi.

Dalam hatiku terucap terima kasih untuk sinar misterius yang telah menyelamatkan isteri dan jabang bayiku walau setelah dia menceritakan kejadian itu aku mendapatkan sarapan omelan yang cukup panjang dari isteriku. Menurutnya aku terlalu lambat bergerak dan hampir saja ular siluman itu merenggut nyawanya. “Mas gimana sih, aku mau ada yang mencelakai bukannya cepat-cepat,” katanya menggerutu.

Yah, nggak apa-apalah semua omelan itu aku terima dengan pasrah asalkan isteri dan jabang bayi selamat. Lagipula bukan baru sekali ini dia memarahiku, maklumlah namanya juga lagi hamil jadi emosinya gampang naik.

Kisah misterius ini bukan hanya terjadi sekali saja, namun terjadi pula peristiwa yang lebih menghebohkan lagi dan lebih menegangkan. Peristiwa kedua ini terjadi pada malam berikutnya dikala aku mengantarkan salah satu rekanku yang baru saja berkunjung ke rumah kami menuju ujung jalan. Isteriku kembali diganggu makhluk halus.

Makhluk itu begitu menyeramkan. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan manusia umumnya. Telinganya lancip seperti kurcaci, kepalanya polos tanpa satu helai rambut pun. Begitu juga di seluruh tubuhnya yang hanya terbungkus sehelai celana yang mirip celana dalam. Matanya merah menyala dengan sorotnya yang tajam menusuk ulu hati.

Melihat pemandangan seperti itu, spontan saja isteriku lemas. Kaki dan tangannya seperti tak bertulang. Ia tak sanggup menggerakan badannya. Tapi matanya mampu melihat dengan seksama wujud apa yang ada di hadapannya. Untung saja ia tidak pingsan dan dia teringat pesanku kalau melihat hal-hal aneh yang berbau mistis, segera istighfar dan memohon perlindungan dari Allah SWT.

Sinar putih misterius itu kembali muncul, sama seperti sebelumnya, saat isteriku hampir dicelakai oleh ular siluman di kamar mandi. Uniknya, sinar putih misterius ini membentuk wujud menjadi jin muslim yang dahulu pernah mendampingi salah satu leluhurku yang sampai sekarang masih sering aku kirimi doa.

Jin muslim itu dikenal dengan nama Guru Sakti yang berasal dari Baghdad. Beliau telah berusia ribuan tahun dimana aku sendiri kurang begitu tahu berapa usia tepatnya. Yang aku tahu pasti kalau jin tersebut ada lah peliharaan salah satu leluhurku yang kemudian terus menjaga keluarga kami secara turun-temurun.

“Assalammu’alaikum...” sapa jin tersebut tetap dengan keramahan dan wibawanya.

“Wa’alaikum salam...” jawab isteriku masih dengan gemetaran menatap makhluk aneh itu.

Kemudian tanpa basa-basi, Guru Sakti segera menyerang makhluk yang hendak mencelakai isteriku itu. Cukup dengan satu hantaman, makhluk menyeramkan itu raib dari pandangan, sama seperti ular siluman sebelumnya. Isteriku hanya mampu memandang takjub fenomena gaib di hadapannya tanpa mampu berkedip. Setelah itu, Guru Sakti berpamitan pada isteriku sebelum ikut menghilang begitu saja seperti makhluk menyeramkan itu.

Tak lama kemudian aku pun kembali dari mengantarkan rekanku itu dan tentu saja para pembaca setia Misteri dapat menebak kejadian selanjutnya yang menimpaku. Bukan aku melihat siluman yang menyeramkan, melainkan muka seram itu adalah isteriku yang langsung membombardirku seperti senapan mesin yang tak habis-habisnya.

Begitulah nasibku yang selalu saja terlambat dan menjadi umpan kemarahan isteri. Dia memarahiku karena menurutnya aku lebih memperhatikan temanku daripada dirinya yang hampir saja celaka. Akhirnya dengan masih ngomel, dia kelelahan dan tertidur. Waktu menunjukkan pukul 00.30 WIB, segera aku melaksanakan sholat hajat 2 raka’at guna meminta petunjuk dari Allah SWT apa yang sebenarnya terjadi pada isteriku.

Adalah suatu keanehan jika 2 hari berturut-turut isteriku hampir dicelakai dua makhluk aneh. Aku curiga kalau makhluk-makhluk ini merupakan kiriman dari seseorang yang mungkin tidak menyukai kami. Setelah sholat, aku pun mengamalkan doa-doa khusus dengan harapan semoga aku diberi petunjuk oleh Yang Maha Kuasa yang tiada lain Allah SWT.

Dikarenakan kantuk yang mendalam, aku tertidur tanpa aku sadari. Alhamdulillah saat tertidur itu aku mendapatkan petunjuk mengenai peristiwa yang menimpa isteriku. Didalam mimpiku, aku ditemui kakekku yang berada di kampung. Beliau datang dengan mengenakan jubah dan sorban putih serta didampingi oleh seseorang yang tidak begitu jelas.

Dalam mimpi itu, kakekku berucap bahwa ada seseorang yang sakit hati karena isteriku dahulu memilih menikah denganku dan bukan dengan dirinya, sedangkan dia sangat mencintai isteriku. Seperti pepatah orang tua dahulu yaitu “Batas kebencian dan cinta sangatlah tipis, setipis kulit ari”, jadi itulah yang tejadi. Rasa cinta yang mendalam menjadi sebuah dendam. Namun karena kekuatan doa-doa yang biasa aku amalkan, orang yang bermaksud mencelakai aku tidak mampu mendekatiku dan akhirnya dia marah dan menyerang isteriku.

Mendengar hal tersebut, aku menjadi sangat geram. Menurutku lelaki itu sangat pengecut karena tidak berani berhadapan langsung dengan aku malah melalui alam gaib. Awalnya aku hendak membalas semua perbuatannya, namun kakekku mengingatkan aku untuk lebih mendekatkan diri saja kepada Allah SWT, karena mantan kekasih isteriku akan kembali mencelakai kami dengan serangan lainnya yang lebih kuat. Sekarang dia telah bersekutu dengan iblis yang membantunya mencelakai kami. Sebelum berpamitan, kakekku berpesan agar aku jangan sampai meninggalkan satu sholat pun.

Aku terbangun oleh suara adzan yang semakin jelas di telingaku dan aku mencium aroma wewangian yang akrab sekali di penciumanku. Ini adalah wewangian yang biasa dipakai oleh kakkeku saat hendak menjalankan sholat Jum’at. Allahu Akbar... Aku segera menunaikan sholat Subuh.

Usai menunaikan shalat, aku mengambil sebilah keris pusaka peninggalan leluhurku. Aku bermaksud ingin menusuk siapa saja yang hendak kembali mencelakai isteriku. Tekadku bulat, aku harus menyelamatkan isteri dan jabang bayiku. Apapun yang akan mencelakai keluargaku aku tak akan gentar menghadapinya. Namun setelah beberapa lama kutunggu, tidak ada sa¬tu pun makhluk yang muncul mendekati.

Hari ini aku pulang dari kantor lebih cepat dari isteriku yang sering lembur karena bos-nya yang orang asing sungguh tidak memperdulikan apakah karyawannya hamil atau tidak, tetap saja diharuskan kerja lembur. Terkadang aku kasihan juga dengan isteriku. Saat aku menutup pintu, tiba-tiba dadaku berdegup kencang sekali dan timbul rasa gelisah yang tiba-tiba menyelimuti hatiku.

Dadaku panas seperti terbakar api. Pakaian yang aku kenakan basah oleh keringat yang mengucur dengan derasanya. Aku segera mengucapkan Asma Allah dan Alhamdulillah kondisi tubuhku kembali normal. Aku membaca doa untuk membuka tabir alam gaib dan benar seperti dugaanku karena di hadapanku ada ratusan makhluk-makhluk yang sangat menyeramkan dan siap menyerangku.

Tanpa berpikir panjang, aku segera merapal ilmu Si Gentar Alam, sebuah ilmu yang sangat legendaris. Ilmu dari Bumi Sriwijaya ini diturunkan oleh pamanku beberapa tahun lalu.

......... gagahku diturunkan Amir Hamzah, kuatku diturunkan Baginda Ali, bergetar sekalian musuhku, bergemuruh bumi dan langitku bila ku kehendaki, dengan seizin-Mu ya Allah ya Robbi ya Tuhanku Hak kata Allah......

Dengan penuh kepasrahan dan keyakinan aku berserah diri kepada Allah SWT. Aku menghentakan kakiku ke bumi sebanyak tiga kali ke tanah dan tiba-tiba dari tubuhku keluar cahaya putih yang sangat menyilaukan menghantam satu persatu makhluk menyeramkan itu yang hendak menyerangku.

Dikarenakan terlalu silau, aku tak dapat melihat kejadian di sekelilingku, hanya suara rintihan dan teriakan kesakitan serta dentuman keras. Setelah semuanya mereda, pandanganku kembali ke alam nyata. Kemudian aku ucapkan puji syukur atas pertolongan Allah SWT karena berkat izin-Nya lah aku dapat mengalahkan makhluk-makhluk menyeramkan itu.

Usai semua kejadian itu, aku terduduk di kasur sambil menghisap sebatang rokok untuk melepaskan semua rasa lelahku. Baru beberapa hisap saja aku menikmati asap rokok tiba-tiba datang suara yang besar menggema, namun terdengar ramah. Suara misterius itu mengatakan bahwa Insya Allah peristiwa yang baru saja tejadi merupakan klimaks dari teror yang selama beberapa hari ini menghantui kami. Berkat izin Allah SWT orang yang berniat mencelakai kami terkena imbas Ilmu Si Gentar Alam yang aku gunakan. Suara misterius itu berpesan agar aku lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT serta membimbing isteriku agar menjadi orang yang sholehah.

Aku sengaja merahasiakan kejadian hari ini kepada isteriku, karena dia sudah cukup terkejut oleh kejadian-kejadian di hari sebelumnya. Aku tidak ingin jabang bayiku terganggu lantaran teror-teror misterius ini. Harapanku semoga kisah mistis yang aku alami pada pertengahan Pebruari 2004 ini dapat diambil hikmahnya, bahwa dendam itu bagaimana pun hanya akan mencelakan diri sendiri.

Belajar berpasrah dan tawakal kepada Allah SWT akan lebih baik dari pa¬da menyimpan dendam dan bersekutu de¬ngan iblis.

Bercumbu dengan Arwah di Pulau Komodo

Malam semakin larut, udara semakin dingin. Angin dari arah barat menerpa keras villa kami, Villa Damar, yang berlokasi di Bukit Antajaya, Teluk Singkap, Pulau Komodo,

Nusa Tenggara Timur.




Sudah satu minggu kami sekeluarga meninggalkan Jakarta dan berlibur di Pulau Komodo. Papa punya lahan pertanian peninggalan kakek, yang dikelola oleh warga setempat bernama Lumbu Paningga. Tanah seluas 100 hektar itu ditanami kopi. Walau jenis pohon ini masih langka di NTT, tapi papa memaksakan perkebunan itu untuk hidup. Hasilnya lumayan, kopi jenis arabika dan robusta telah dapat dinikmati hasilnya.

Di tengah kebun, tepatnya di bukit yang diberi nama Antajaya, dibangun villa dari tembok, dua lantai dengan mengarah ke laut Sumba. Papa sangat suka daerah itu. Mama juga begitu, mereka benar-benar menikmati hari-hari liburan di villa kami. Mama juga ikut menanam durian bangkok dan rambutan ace yang bibitnya didatangkan dari Sukabumi, Jawa Barat. Setiap hari mama bersama isteri Pak Lumbu Paningga bercocok tanam. Se¬mentara aku benar-benar kesepian. Tidak ada teman dan tidak ada kegiatan yang menarik perhatianku di Pulau Komodo.





Sore itu aku melamun di beranda villa lantai dua. Bayanganku jauh kepada Ranti, Evan dan Dina di Jakarta. Teman-temanku itu sedang beristirahat ramai-ramai di Carita, Banten. Aku benar-benar merindukan mereka, ingin berkumpul, bercanda, berbagi bahagia dengan mereka. Tapi dari awal Papa marah. Mama juga begitu. Mereka tidak memperbolehkan aku ikut rombongan itu. Papa dan Mama memaksaku ikut ke NTT, bersama mereka. Walau batinku berontak, aku terpaksa juga melakukan perjalanan yang me¬le¬lahkan itu. Kami naik pesawat ke Lombok. Dari bandar Selaparang kami ke Amepanan, naik kapal Yach milik papa di kota itu lalu berlayar ke Pulau Komodo. Selama perjalan¬an aku berdiam diri. Mama berusaha membujukku agar aku lebih enjoy, begitu juga dengan papa. Tapi karena aku jengkel, kesal dan gundah gulana, maka bibirku tak bisa juga tersenyum.

Sesampainya di villa, pikiranku semakin kacau. Aku ditanya papa dan mama, mau apa aku di situ. Mereka menjanjikan mobil baru, bila aku mau tertawa. Tapi aku tidak bergeming, aku melamun dan melamun saja. Bayanganku tetap pada teman-temanku yang bawel, lucu dan juga konyol. Bayanganku terus terbang di antara mereka. Aku membayangkan betapa indahnya bertamasya di Carita dengan mereka. “Jadi apa sebenarnya yang kau mau?” bentak Papa, setelah bosan merayuku agar aku mau tersenyum dan enjoy bersama mereka. Tiba-tiba keberanianku muncul untuk melawan Papa dan aku berkata keras. “Papa, keinginanku hanya satu, aku minta pulang ke Jakarta sekarang juga!” kataku.

Papa marah besar mendengar jawabanku ini. Begitu juga dengan Mama. “Kalau itu permintaanmu, Papa tidak akan kabulkan sampai kapanpun. Kau harus tetap di sini sampai tujuh hari ke depan!” bentak Papa, sambil berlalu.

Sore itu, hari Selasa Wage, 20 De¬sem¬ber 2001, aku benar-benar terpukul. Aku menangis habis-habisan di kamar tidurku di lantai dua. Kukunci rapat pintu kamarku sambil menumpahkan kekesalanku pada guling dan bantal. Aku mengadu pada dua benda yang jadi sahabat baikku selama tinggal di Villa Damar. Anehnya, bantal itu seakan bicara padaku. “Dita, janganlah kau bersedih. Hapuslah airmatamu, karena airmatamu itu tidak akan menyelesaikan persoalanmu. Tunggulah sampai seminggu, setelah itu kalian akan pulang ke Jakarta dan kau akan berbahagia bersama teman-temanmu di ibukota, ayolah Dita!” bisik bantal itu, membujukku.

Aneh memang. Malah bantal itu menganjurkan agar aku duduk di beranda depan villa di lantai dua itu. Aku menurut saja apa katanya. Aku duduk di beranda sambil memandang alam sekitar yang sebe¬narnya cukup indah. Laut Sumba kulihat begitu elok dan rupawan. Layar-layar perahu nelayan sudah mulai melaut dengan lampu petromaks kelap kelip terlihat dari kejauhan. “Mereka bertarung melawan badai demi isteri dan anak-anak mereka di rumah!” kata seorang laki-laki tampan yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Hei, kamu siapa? Bagaimana kamu bisa masuk ke villa ini?” tanyaku, ketus.

Laki-laki itu menerangkan, bahwa dia adalah ponakan dari Pak Lumbu Paranggi pengelola ladang kami. “Aku baru datang dari Jakarta untuk mengunjungi pamanku di sini. Aku tinggal di Pondok Indah, Jalan Sekolah Duta 19 Nomor 45 B, tidak jauh dari rumah Anda!” katanya. Aku langsung melemah. Laki-laki tampan umur 24 tahunan itu ternyata tetanggaku di Jakarta Selatan. “Aku baru saja datang dan paman menyuruhku menemuimu di sini!” desisnya.

Singkat cerita, kamipun akrab. Banyak hal yang kami obrolkan dan pembicaraan sangat nyambung dan lancar. Habis ngobrol, tak terasa pukul 23.00 WIT. Papa dan Mama sudah tertidur. Entah kenapa, seperti dapat siraman kata magis, aku melakukan adegan mesra dengan laki-laki asing itu. Kami bergumul hot walau tidak sampai melakukan hubungan intim. Laki-laki itupun tidak menuntut untuk minta keperawananku malam itu. Pukul 23.30 WIT dia minta pamit. Akupun melepas kepergiannya meninggalkan villa di dalam gelap.

Besoknya dengan semangat tinggi aku menemui Pak Lumbu untuk minta bertemu kembali dengan laki-laki yang mengaku bernama Indra itu. Pak Lumbu kaget dan menyerangku dengan ragam pertanyaan mendetil. Kuceritakan ciri-ciri serta bentuk khas Indra seperti yang dipertanyakan Pak Lumbu. Lalu, dengan airmata menggenang di pipinya, Pak Lumbu bertutur, bahwa Indra itu memang keponakan yang paling disayanginya. Karena Pak Lumbu tidak punya anak, maka Indra dijadikannya anak angkat dan tinggal di rumah adik bungsunya di Pondok Indah. Tapi, kata Pak Lumbu, Indra sudah meninggal lima tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan laut teng¬gelam di Laut Sumba, terjatuh dari kapal nelayan milik Pak Lumbu. Mayatnya sudah terkubur di belakang villa, di kebun milik Pak Lumbu. Malam itu, Pak Lumbu menyesalkan kenapa tidak sempat jumpa dengan anak angkat kesayangannya itu. Tapi justru Nona yang bertemu, kenapa bukan saya? Sesal pak Lumbu. Penyesalan Pak Lumbu itu, menjadi guncangan batin dan gelegak jantungku. Oh Tuhan, tadi malam aku ternyata bercumbu dengan arwah yang sudah lima tahun lalu terkubur. Duh Gusti.

(Cerita ini terjadi pada Dita Puspitasari. Tina F. Belitang menuliskan kisah mistis ini)

BERTARUNG MELAWAN JIN KUCRIT

Penulis : R. WAHYUDI SANTOSO





Demi mengangkat setumpuk batangan emas, aku bertarung mati-matian dengan sosok jin. Namun, setelah berhasil yang terjadi justru sangat mengecewakan....



Ketika aku sedang menyaksikan tayangan Dunia Lain di Trans TV, sambil menikmati secangkir kopi ginseng, isteriku memberitahu kalau di luar ada tamu yang ingin bertemu denganku. Aku bergegas. Di ruang tamu kulihat Pak Achmad. Dia sedang membuka-buka koran pagi. Setelah basa-basi sebentar, ia langsung kepada pokok persoalan yang ingin disampaikannya. Dan aku menyimaknya baik-baik.

“Kurang lebihnya begitulah kesimpulannya, Pak. Karena Pak Wahyu yang modalin, berapa pun hasilnya nanti, dia siap membagi sama rata,” Pak Achmad menutup penuturannya.

“Yang saya pikirin bukan itunya. Saya heran, atas dasar apa Bu Chaidar begitu percaya dan yakin kalau di rumahnya ada timbunan harta peninggalan almarhum? Apakah Pak Chaidar itu orang kaya? Atau, salah seorang koruptor, barangkali?” tukasku, ragu.

Sahabatku yang bernama lengkap Achmad Ali itu tersenyum. “Soal itu saya juga tidak tahu. Tapi yang jelas, Bu Chaidir yakin seratus persen kalau harta itu memang ada,” katanya.

Kami memang sudah terbiasa ngobrol dibarengi humor, terkadang sindir sana sindir sini, tetapi topik persoalan tetap berlanjut, seperti halnya malam itu. Setelah menyalakan rokok, Pak Achmad Ali kembali bertutur, “Menurut Bu Chaidar, awal mulanya melalui mimpi. Almarhum suami¬nya yang bilang kalau dia sendiri yang menaruh emas tersebut di bawah lantai ruang tamu. Tetapi dia berpesan kalau ‘tanaman’ itu baru bisa diangkat setelah genap waktunya, dan hanya akan menjadi kenyataan kalau yang meng¬angkatnya adalah seseorang yang berhati lurus. Artinya, nggak bisa dilaksanakan oleh sembarang orang.”

“Berapa banyak jumlahnya?” tanyaku, berubah serius.

“Kalau nggak salah, setelah beberapa kali Bu Chaidar mendatangkan orang pintar ke rumahnya, rata-rata mengatakan ada sekitar 40 batang. Itu menurut mereka. Sedangkan menurut hemat saya, sekiranya Pak Wahyu berkenan, nanti kan bisa diperiksa ulang. Selanjutnya saya serahkan sepenuhnya sama Pak Wahyu. Begitu pesan Bu Chaidar.”

Aku manggut-manggut mendengar cerita yang bernada menggiurkan itu. Sebagai seorang yang dikenal memiliki kemampuan mengangkat harta terpendam dengan kekuatan supranatural, tentu saja aku harus menerima tawaran menarik ini.





Seminggu kemudian, Pak Achmad Ali memperkenalkan aku kepada Ibu Chaidar. Setelah berkenalan dan bisa cepat akrab, wanita di ambang usia senja itu mulai menceritakan ulang ihwal mimpi-mimpinya.

“Kenapa saya begitu yakin bahwa benda itu memang ada, karena mimpi itu terus berulang-ulang datang dalam tidur saya,” katanya.

Malam itu juga aku melaksanakan penerawangan, menembus dunia lain melalui ketajaman mata batinku. Hasilnya? Cukup meyakinkan. Apa yang kulihat tak jauh beda dengan apa yang diceritakan Ibu Chaidar. Di bawah lantai ruang tamu rumah wanita yang telah lama hidup menjanda itu memang terlihatan lantakan emas. Setelah merasa yakin, maka kupastikan langsung hari H untuk ritual pengangkatan.

Selasa malam, 9 Desember 2003, semua sarana sudah tersaji rapi. Antara lain, 7 macam buah-buahan, 7 rupa kembang, 7 macam jajan pasar, sebatang cerutu lengkap dengan kinang bantalan, sepiring nasi putih, seekor ikan mas goreng, sebungkus rokok kretek Gudang Garam Merah, kopi manis dan kopi pahit, teh manis dan teh pahit, segelas air putih, dan sebotol minyak khusus yang biasa dipergunakan untuk melaksanakan upacara ritual semacam ini. Minyak tersebut biasa juga disebut “Minyak Jin.” Harganya jutaan rupiah. Sebab, tanpa menggunakan minyak seperti itu, rasanya sangat tipis kemungkinan akan berhasil dengan lancar dan baik.

Sejumlah orang telah berkumpul di ruang tengah, berdzikir membaca Surat Al-Ikhlas secukupnya. Pengertian secukupnya di sini ialah baru boleh berhenti setelah ada petunjuk dari Pak Nurdin, salah seorang rekanku, yang akan disampaikan melalui aku, dan aku harus langsung memberitahukannya kepada mereka yang berdzikir.

Di kamar khusus yang telah kupadamkan lampunya, hanya ada aku dan Pak Nurdin. Aku terus berinteraksi dan sangat melelahkan. Berdasarkan pendeteksian, jin yang menguasai lantakan emas itu bernama Jin Kucrit. Setelah diadakan dialog, si Kucrit ini itu tidak mau menyerahkan begitu saja apa yang kami minta. Dia tetap bertahan sesuai perintah sang majikan, yaitu sebelum genap hitungan enam tahun sejak benda tersebut ditanam oleh almarhum Pak Chaidar, dia tidak akan menyerahkan kepada siapa pun, kendati kami melaksanakan hajat ini atas permohonan isterinya sendiri.

Cukup lama kami bertarung dengan Jin Kucrit. Hampir satu jam. Pak Nurdin terus mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk mengalahkan Jin Kucrit. Si jin tetap bertahan. Dari langit-langit kamar kudengar jelas seperti benda berat saling berjatuhan menimpa kepalaku. Braaakk! Gedebukkkk! Prang! Padahal aku tahu, itu hanyalah pendengaranku saja. Tidak nyata.

Kecuali sosok Jin Kucrit yang memperlihatkan penampakkannya secara jelas. Dia berbadan tinggi besar, hampir mencapai sepuluh meter. Rambut godrongnya memang terlihat dikucir seperti gaya reserse masa kini. Mungkin, karena itulah dinamakan Jin Kucrit. Sepasang kupingnya sebesar telinga gajah. Matanya sebesar lampu sepeda motor, sedangkan bagian dada, tangan dan kakinya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sangat menyeramkan!

Aku bersyukur, karena tak lama kemudian Jin Kucrit menyerah, mengaku kalah, dan berjanji akan menyerahkan semua benda tersebut kepada kami. Ternyata benar. Setelah lampu kunyalakan, batangan emas tersebut sudah tersusun rapi di atas hamparan sajadah, berikut dua buah liontin berbentuk bulat. Yang satu bergambar wanita. Satunya lagi bertuliskan Allah dalam bahasa Arab.

Dari dalam bambu pendek yang terpaksa kupecahkan, terdapat pula gulungan kertas. Isinya mengatakan bahwa liontin bergambar wanita diperuntukkan khusus untuk putri tunggal almarhum Chaidir yang bernama Lena. Sementara liontin bertuliskan Allah untuk isteri tersayangnya, yakni Ibu Chaidar sendiri.

Benda-benda tersebut kemudian kuperlihatkan kepada semua yang hadir di situ. Kulihat mereka tersenyum puas menyaksikan keberhasilan kerja kami. Terutama Ibu Chaidar dan Lena. Mereka nyaris tak berkedip mencermati benda-benda berharga tersebut. Heran, gembira, tetapi terkesan tak percaya pada penglihatan mereka sendiri.

“Betul-betul aneh, tapi nyata. Kok bisa ya benda yang ada di dalam tanah di angkat ke atas, tapi keramiknya enggak ada yang pecah satupun. Benar-benar nggak masuk logika. Tadinya aku paling nggak percaya sama yang beginian,” kata Lena.

“Kalau sekarang gimana?” tanyaku.

“Baru percaya seratus persen. Soalnya ngeliat sendiri, dan di rumah sendiri lagi.”

“Liontinnya boleh Lena pakai. Begitu juga yang buat ibu,” sela Pak Nurdin. “Kalau yang lainnya sebaiknya disimpan saja di tempat yang menurut ibu cukup aman. Kalau ibu mau jual, nanti saja kalau sudah pas waktunya, seperti yang tertulis pada surat wasiat yang ditulis almarhum. Di sini disebutkan, apabila dimanfaatkan sebelum genap waktunya enam tahun, taruhannya adalah nyawa!”.

“Batas waktu itu kapan, Pak?” Lena bertanya lagi.

“Kalau enggak salah tanggal 18 Februari 2004!” jawabku.

Akan tetapi, karena yang disebut manusia selalu saja merasa kekurangan dan tak pernah mensyukuri nikmat Allah, awal Januari 2004 Ibu Chaidar bermaksud menjual 5 batang emas itu. Alasannya, selain terhimpit oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat, juga untuk mengembalikan uang minyak dagangannya yang belum ia setor penuh. Tak enak, katanya. “Sudah dibantu, kok malah ngeberatin yang nolong.”

Apa boleh buat. Aku dan Pak Nurdin merestui. Kebetulan pula pada waktu itu kami sedang butuh uang untuk keperluan serupa. Segera aku melaju ke salah satu toko emas kenalanku di Pasar Agung. Hasilnya?

Sangat mengecewakan sekali. Sungguh! Emas batangan tersebut berubah menjadi kuningan sari. Aku jadi penasaran. Kubawa ke toko lainnya. Namun hasilnya sama. “Sama sekali nggak ada kadar emasnya, Bang. Ini murni kuningan sari,” kata si pemilik toko setelah dua tiga kali mengetes kemurnian emas tersebut.

Celaka tiga belas, pikirku. Setelah Rp. 8 juta terbang dari dompet, kemudian mati-matian bertarung melawan Jin Kucrit, hasilnya hanya kuningan sari. Walaupun masih ada harapan akan sempurna dengan sendirinya apabila tiba waktunya kelak, atau melalui bantuan orang pinter yang memiliki ilmu khusus untuk “menyempurnakan” kuningan sari kepada wujud aslinya, itu kan baru sebatas harapan. Bisa menjadi kenyataan bisa tidak.

Semuanya kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Namun yang pasti, dari kasus ini aku mendapat pelajaran berharga bahwa kita sebagai manusia hendaknya bisa bersabar dalam menanti sesuatu hal. Ya, kalau saja kami menjual lantakan emas tersebut sesuai dengan waktu yang ditetapkan, mungkin emas itu tidak akan berubah menjadi kuningan sari.

KARENA CEMBURU, AKU TEGA MENYATET SAUDARA SEPUPU

Penulis : Herry Santoso





Demi melihat saudara sepupuku menggumuli isteri, aku langsung kalap. Bahkan aku tega membuat perutnya buncit, hingga akhirnya dia mati....



Api cemburu memang telah membakar seluruh sel darah dan perasaanku. Tapi aku sulit mene-rima jika dikatakan kecemburuanku itu tak lebih sebuah “cemburu buta.” Sebab, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat Melati (nama samaran), isteriku digumuli oleh laki-laki lain.

Awalnya, aku memang tak pernah percaya bahwa Jo, saudara sepupuku yang telah senasib seperjuangan merantau di negeri Jiran (Malaysia) itu akan mengkhianatiku. Bahkan isyu-isyu yang sempat berhembus di tempat kami bekerja yang menyatakan Jo berselingkuh dengan Melati, kuanggap sebuah fitnah yang amat keji.

Jo terlalu baik padaku. Wajar jika sebagian penghasilanku sebagai buruh bangunan di perantauan selalu kukirim ke Melati lewat dia. Jo lah yang kupercaya untuk “hilir mudik” ke kampung halaman mengantar nafkah untuk anak isteriku itu. Terlebih, Thole, anak kami satu-satunya sudah mulai masuk ke bangku SLTP di kampung. Ya, semua seolah memacu semangatku untuk bekerja lebih keras lagi mengumpulkan Ringgit di negeri Jiran.

Hari-hari indah bersama Melati selalu mengusik mimpi-mimpiku. Ada kerinduan yang amat dalam yang hanya bisa kutahan di perantauan. “Oh, isteriku, mungkinkah isyu itu benar-benar ada dan terjadi atas dirimu?” batinku.

Lama-lama aku memang mulai gelisah. Terlebih Parto, yang juga teman sekerjaku, tadi siang sempat menasihatiku.

“Memang, sebaiknya kamu cepat pulang kampung, Yan. Itupun kalau kamu tidak ingin rumah tanggamu hancur!” ucap Parto pelan sembari mengelus-elus pundakku.

“Apa maksudmu berkata seperti itu, To?” tukasku kaget.

Lama Parto terdiam. Seolah ingin menata kalimat selanjutnya yang dirasa cukup pantas untukku.

“Begini...” lanjut Parto. “Kamu harus hati-hati sama Jo. Meski dia saudara sepupumu, tapi laki-laki sama saja. Melati, isterimu terlalu ringkih untuk menghadapi kenyataan berpisah cukup lama dengan sang suami. Dan, masa tiga tahun memang bukan ukuran pendek untuk menahan rindu....”

“Parto! Aku peringatkan, jika kamu masih ingin menjadi sahabatku, jangan kau ulangi fitnah-fitnah kejimu itu, mengerti?” bentakku. Parto nampak terkejut sekali melihat sikapku.

“Tahukah kamu, Jo itu bukan orang lain. Pantas isterimu di kampung minta cerai gara-gara omonganmu yang tajam seperti itu!” geramku sambil langsung mencengkeram krah baju Parto. Kontan, Parto pucat-pasi menerima kemarahanku. Dia pun minta ampun sebelum ngeloyor pergi.

Tapi, diam-diam aku tak mampu membohongi hatiku. Ada bara dalam jiwa atas isyu-isyu yang beredar di tempat kerjaku itu. Aku tidak tenang, malah tadi pagi ibu jariku terkena pukulan palu yang kuayun sendiri. Terlebih baru kemarin lusa Jo kusuruh mudik mengantar jatah gaji buat Melati. Duh Gusti Allah, rasanya ingin malam ini juga kuseberangi selat Malaka yang ada di kejauhan sana.

Akhirnya secara diam-diam aku mudik. Tekadku telah bulat ingin membuktikan isyu gila yang sempat berhembus ke Malaysia itu. Terpaksa aku naik pesawat terbang untuk mempercepat waktu, tapi tak ayal memasuki terminal terakhir di kotaku tetap menjelang dini hari. Padahal aku memperkirakan selepas Maghrib sudah tiba di rumah.

Entah, dorongan darimana aku ingin menuju kampung halaman malam itu juga, dengan sebuah ojek. Tapi kira-kira 1 Km menjelang rumahku, ojek berhenti. Aku melingkar menembus kebun singkong di belakang rumah dan dengan mengendap-endap menyusup tepat di luar kamar Melati, isteriku!

Untunglah, kamar Melati masih separo papan hingga aku bisa mengintip lewat celah-celah sirap itu. Ternyata Melati belum lelap. Dadaku berdegub kencang melihat tubuh isteriku yang sintal itu mene-lentang di atas ranjang. Ia menerawang ke langit-langit kamar sambil sesekali menghela nafas panjang. Ya, mungkin sedang memikirkan aku, merindukan aku, mungkin.

Thole, anakku tidak tampak di sampingnya. Barangkali sedang menginap di rumah neneknya, sebagaimana kebiasaan Thole sejak kecil.

Malam terus bergulir dan merambat ke dini hari. Melati bangkit dari pembaringaan, keluar kamar. Masuk lagi dan duduk di depan cermin. Dan Masya Allah, dia bersolek di depan cermin! Bahkan melepas CD dan branya. Tak ayal nafasku memburu melihat dua bukit yang ranum dan padat itu. Setelah itu ia keluar lagi, dan ya Tuhan, balik lagi ke kamarnya dan menuntun seorang laki-laki!

Nyaris aku tak mampu menahan diri, tapi aku masih ingin bukti. Kakiku menggigil seketika dan seluruh persendianku seperti copot begitu menyaksikan laki-laki itu langsung menciumi wajah isteriku. Laki-laki itu adalah Jo, adik sepupuku sendiri yang kemarin lusa kusuruh mengantarkan penghasilanku untuk Melati.

Dengan penuh nafsu Jo menciumi wajah, bibir, leher, dan ujung-ujung bukit di dada isteriku. Karuan saja, Melati menggeliat tak tahan diperlakukan seperti itu dan langsung melepas daster transparan yang ia kenakan malam itu.

Degup jantungku kian terpacu. Aku hampir pingsan menyaksikan tubuh isteriku direbahkan di atas kasur seraya membuka kedua kakinya. Dengan profesional Jo memanggul kaki-kaki Melati yang mulus dan jenjang itu, dan seterusnya aku tak mau menceritakannya di sini.

Aku spontan melompat pintu depan rumahku. Dengan bara emosi yang tumpah, kuterjang pintu dan jebol seketika. Kedua insan yang tengah bergumul di kamar itu terkesiap. Jo sedianya mau lari karena panik, tapi dengan kalap kuhantam dadanya yang bidang dengan tinjuku kemudian kuterjang tepat kemaluannya hingga ia roboh tak berkutik di lantai. Melati menjerit-jerit, tapi sebelum aku ambil langkah seribu masih sempat memukul telak ibu dari anakku itu.

Selebihnya aku segera mengambil langkah seribu, menembus ujung pagi yang masih berkabut. Sesampainya di terminal kota aku naik bus ke arah timur. Dalam kendaraan itu aku tanpa tujuan pasti, hanya membawa kehancuran hati. Akhirnya menjelang petang aku tiba di kota Banyuwangi. Aku mulai kebingungan, akankah aku terus menyeberang ke Bali? Lalu ke mana tujuanku nanti?

Kebingungan mulai merajuk ke benakku. Akhirnya aku menginap di sebuah Losmen kelas melati. Dari perbincangan dengan sesama tamu, diam-diam aku menyadap inti perbincangan yaitu soal santet. Kata tamu (yang sama-sama menginap di losmen itu), ada tukang santet ampuh di sebuah desa di Banyuwangi Selatan. Dia mau dimintai jasa untuk menyantet siapapun, asalkan dibayar. Tapi praktek itu sangat rahasia, karena takut dihakimi oleh massa.

Tanpa basa-basi, esoknya aku meluncur ke desa itu. Letaknya cukup terpencil, karena harus naik turun perbukitan dan menyeberangi beberapa sungai. Jarak antara rumah satu dengan yang lain saling berjauhan hingga tak satupun orang yang menyangka bahwa aku butuh jasa dukun santet.

Ringkas cerita, akhirnya aku tiba di rumah dukun santet itu....

“Tolonglah saya, Mbah!” ucapku setengah merengek setelah kami terlibat perbincangan yang cukup panjang. “Saya ini menderita batin, Mbah. Ketika merantau ke Malaysia, isteri saya berselingkuh dengan saudara sepupu saya sendiri.”

“Mungkin itu fitnah!” tukas laki-laki tua itu.

“Tidak, Mbah, saya tahu dengan mata kepala saya sendiri, ketika laki-laki itu bergumul di ranjang dengan isteri saya...” lanjutku tak mampu menahan diri, terisak-isak.

“Laki-laki kok nangis! Tujuanmu kemari untuk menyantet laki-laki yang meniduri isterimu itu, kan?”

“I...iya, Mbah...”

“Kamu yang menanggung segala dosa-dosanya kelak di hadapan Gusti Allah?” tatapnya, melotot. Wajah laki-laki itu bukan saja angker sekaligus agak menjijikan. Betapa tidak, wajahnya yang tirus penuh bopeng. Mungkin dulu bekas terkena cacar air, pikirku. Rambutnya gondrong sebahu, dan dengan jenggot panjang yang jarang-jarang mengingatkanku pada seekor kambing jantan. Hidungnya agak bengkok, dan tatkala terkekeh giginya tampak kotor kekuning-kuningan. Bibirnya menghitam lantaran terbakar asap kretek yang terus mengepul. Tubuhnya kurus dan jangkung, tapi tatapan matanya tajam bak mata elang kelaparan.

Setelah mendengar semua penu-turanku, laki-laki itu masuk ke biliknya. Keluar lagi dengan membawa sebutir telur ayam kampung dan minyak wangi (kalau tidak salah Cap Serimpi). Diolesinya telur itu dengan minyak wangi. Perlahan-lahan namun pasti ia mengelus dan mengelus telur itu sembari memejamkan matanya.

“Nama laki-laki itu siapa, Nak?” tanyanya masih tetap terpejam dan mengelus telur ayam di tangan kirinya.

“Jo, Mbah...” jawabku.

“Hari kelahirannya kamu tahu?” celetuknya.

Aku mengerutkan kening, tapi aku terlonjak karena ingat weton (kelahiran) si Jo.

“Anu, Mbah, Jum’at Pahing, ya-ya, Jum’at Pahing, Mbah!” kataku dengan wajah berbinar.

“Jum’at 6, Pahing 9, jadi 15! Wah, ini matinya lima belas hari lagi, Nak!” ujarnya yang membuat bulu kudukku merinding seketika. Di antara ketakutan, aku berusaha mempercayai ramalan itu.

Hari menjelang malam ketika pak tua itu mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu puncak sebuah bukit kecil. Di situ ia mengambil sebuah uborampe untuk menyantet, yaitu paku usuk tujuh buah yang sama-sama sudah karatan, tengkorak manusia, bumbung, dan keris kecil sepanjang satu jengkal. Kemudian balik lagi ke rumahnya, membuat sesaji lengkap; ada bunga telon, kafan, telur ayam kam-pung, minyak wangi dan entah apalagi yang aku tidak mengenalinya.

Pak tua itu lalu membuat boneka dari tepung terigu, mirip adonan roti. Boneka itu diisi mantra-mantra kemudian digeletakkan di atas nampan bersama ubo-rampe tadi. Kemudian dia membakar kemenyan di sebuah anglo pedupaan. Asap dupa mengepul memenuhi ruangan pribadinya yang sempit. Saya disuruh mengamati tujuh butir telur ayam kampung itu. Sekejap kemudian aku terpekik, karena melihat salah satu dari telur itu ada wajah si Jo, saudara sepupuku.

“Mbah! I...itu, di telur itu ada wajah si Jo, Mbah!” seruku.

Laki-laki itu membuka matanya dan mencomot telur bergambar Jo itu. Aneh, mirip komputer saja, pikirku benar-benar penasaran. Telur yang baru dicomot itu dimasukkan ke perut boneka tepung tadi, hingga tampak membuncit (membusung). Boneka itu sebesar paha, yang dilengkapi dengan anggota tubuh, pusar, mata, mulut, dan alat kelamin.

“Ayo sekarang kita keluar rumah!” ajak pak tua.

Aku mengikuti langkahnya, ternyata hanya di tengah halaman. Ia menghadap lurus ke barat dimana kampungku berada.

“Pegang boneka ini kuat-kuat jangan sampai lepas, ya!” perintahnya. Dengan wajah tegang diambilnya tujuh paku berkarat itu dan dengan kejam ditusuknya perut buncit boneka itu. Aneh, boneka itu bergetar. Aku kaget. Bahkan boneka itu mengaduh dan meronta.

Pak tua itu tak peduli. Diambil lagi paku-paku berkarat itu sampai habis, lalu ganti keris kecil dan semua ditusukkan ke perut boneka. Gila, cairan hangat kental muncrat ke wajahku. Baunya anyir, dan kuingat-ingat itu bau darah segar. Aku mual dan bergidik, karena boneka itu mengejang dan berkelenjotan di tanganku.

“Nah, sudah selesai! Kita tunggu lima belas hari lagi dia pasti mati, Nak!” katanya dengan suara dingin. “Terus terang, Mbah paling benci dengan lelaki yang mengganggu isteri orang,” tegasnya.

“I...iya, Mbah!” suaraku serak karena tercekam takut.

Entah mengapa, diam-diam aku merasa ketakutan. Merasa ngeri sendiri jika mengingat-ingat proses gaib tadi. Tapi sudah terlanjur, apa yang akan terjadi, terjadilah.

“Berapa maharnya, Mbah?”

“Tiga juta rupiah saja! Biasanya lima juta, tapi karena saya kasihan padamu, ya cukup itulah, Nak!” kata pak tua itu.

Akhirnya kurogoh lipatan uang di dompetku dan setelah kuhitung sejumlah tiga juta kuserahkan kepadanya. Kontan wajah pak tua itu tampak sumringah yang serta merta memasukkan duit itu ke lipatan sabuknya.

Setelah itu aku pulang ke rumah. Rencanaku aku akan menuntut Jo ke depan yang berwajib, tapi keburu polisi menangkapku. Aku dituduh menganiaya Jo dan isteriku sampai Jo dibawa ke rumah sakit! Aneh, saat kulihat perut Jo buncit. Dia hanya mampu mengerang-erang di ranjang rumah sakit. Kata dokter, membengkaknya perut itu akibat tendangan maut di bawah pusar yang mengakibatkan luka dalam pada usus halus dan usus besarnya.

“Dia harus dioperasi secepatnya kalau ingin nyawanya tertolong,” demikian kata dokter.

Aku hanya mencibir sinis. Dua hari kemudian aku dijebloskan ke sel tahanan. Dalam proses peradilan pihak penegak hukum mengalami kesulitan, karena Jo meninggal setelah lima belas hari dirawat di rumah sakit. Tapi atas kesaksian isteriku, aku dijebloskan ke bui selama 7 tahun. Cuma satu yang meringankanku, tak pernah dihukum dan menyesal telah menganiaya saudara sepupuku itu. Belum lengkap penderitaanku, karena setelah keluar dari penjara aku harus melakukan proses perceraian di Pengadilan Agama.

Ya Tuhanku, masih adakah pintu taubat terbuka untukku? Hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali aku sholat. Thole anakku pun rupanya juga membenciku, dan itu mungkin karena provokasi dari orang-orang luar, termasuk mertuaku.

Bagaimana dengan Melati? Dia pernah menemuiku dan mengatakan sebenarnya dia masih mencintaiku. Dia ingin kembali padaku. Mungkinkah? Hatiku yang paling dalam mengatakan, “Maaf, hal itu tidak mungkin lagi, Melati. Maafkan aku, cintaku telah terkubur bersama dendamku....”

Kini, kupasrahkan hidup dan matiku hanya kepada Tuhan...!

Kisah mistis ini dituturkan oleh Yan

PEREMPUAN BUTA BERSUAMI JIN MUSLIM

Penulis : DEWI WULANDARI





Kisah mistis ini ditulis berdasarkan penuturan Achmad Busyairi, saksi mata kejadian....



Nama Mbok Maunah, penduduk Desa Bonsari Kidul, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, cukup terkenal pada bilangan tahun 1984 - 1990. Terutama oleh masyarakat di daerah setempat, bahkan banyak dikenal oleh penduduk Kabupaten Lumajang umumnya. Wanita dusun ini terkenal karena kemampuan supranatural yang dimilikinya.

Kemampuan supranatural yang membuat namanya sedemikian kondang adalah karena Mbok Maunah dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tapi, apakah sebenarnya rahasia yang dimiliki oleh sosok yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan ini? Perempuan buta ini memiliki ilmu yang sedemikian ampuh berkat bantuan jin muslim yang menikahinya.

Achmad Busyairi, saksi hidup yang merekam perjalanan hidup Mbok Maunah menuturkannya kepada Penulis, untuk kemudian diceritakannya kembali kepada pembaca, dengan harapan bisa diambil hikmahnya.

Maunah, perawan tua yang buta kedua matanya sejak kecil itu hidup sebatang kara. Tanpa orang tua dan saudara, membuat hidupnya terlunta-lunta. Berulangkali dia pindah tempat tinggal. Mencari tumpangan pada saudara-saudara jauh yang mau menerima kehadirannya.

Jangankan ada pria yang mau menikahinya, untuk mendekatinya saja mereka umumnya emoh. Hingga usianya menginjak kepala empat, Maunah masih hidup sendiri dan belum pernah menikah. Untuk menyambung hidupnya, Maunah kerap menjadi tukang pijat dan menerima kebaikan dari tetangga dekatnya.

Walaupun hidupnya sangat sengsara, namun Maunah sangat rajin menjalankan sholat. Suatu ketika ia pernah menyebut, dengan sholat dirinya merasa masih pantas hidup di dunia nan fana ini.

Aku (Achmad Busyairi-Pen) kenal dekat dengannya ketika Maunah tinggal di belakang rumah salah seorang tetanggaku yang sebut saja dengan inisial SM. Ia menempati sebuah kamar kecil yang sebelumnya dipakai untuk gudang penyimpanan barang.

Kedekatanku dengan Maunah disebabkan dua hal; pertama kalau ditelusuri dia masih terhitung saudara jauh denganku. Kedua, karena aku meresa iba melihatnya selalu sendiri hampir di setiap waktu.

Dia baru ada yang menemani bila kebetulan ada tetangga kanan kiri yang datang minta dipijat. Kepandaiannya memijat sebenarnya kurang begitu mumpuni. Kalaupun ada tetangga yang memanfaatkan jasanya, disebabkan karena mereka merasa iba dan ingin berbagi sedikit rejeki dengan perempuan buta ini.

Ketika pertama kali kenal dekat dengan Maunah, aku tidak melihat ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Cerita-cerita yang keluar dari mulutnyapun tidak jauh dari seputar perjalanan hidup serta penderitaan-penderitaan yang dialaminya.

Baru setelah tiga bulan kemudian, kejanggalan-kejanggalan mulai tampak pada diri perempuan buta itu. Dia kerap bercerita tentang diri laki-laki yang selalu dipanggilanya "Om". Menurut penuturannya, dia sering diajak jalan-jalan oleh Om ke puncak Gunung Semeru, ke Alas Purwo, ke Pantai Parangtritis, juga mandi di Ranu Pane.

"Pekerjaan Om memberi makan burung perkutut milik Mbah Gimbal di Puncak Gunung Semeru. Jadi aku sering diajaknya kesana," tuturnya suatu ketika dengan wajah bercahaya layaknya orang yang sedang jatuh cinta.

Mendengar penuturannya yang aku anggap ngelantur itu, aku semakin bertambah iba. Menurut dugaanku dia terobsesi dicintai oleh seorang laki-laki, sehingga menciptakan sosok imajiner di dalam kehidupannya. Bahkan aku sempat menduga, perempuan buta itu sudah mulai gila. Apalagi ketika pada suatu hari dia menyampaikan rencananya untuk menikah.

Menikah? Tentu saja aku sempat tertawa dalam hati mendengar cerita Mauna ini.

"Sehabis Isya nanti Om datang bersama penghulu. Kamu maukan menjadi wali nikahku?" pinta Maunah yang sekali lagi membuatku menahan senyum.

"Tolonglah, aku sudah tidak punya orang tua dan saudara. Di sini hanya kamu orang yang dekat denganku," katanya setelah mendapatkan diriku tidak berkomentar apa-apa atas perkataannya barusan. Kata-katanya yang terakhir ini terus terang membuatku sangat terenyuh.

"Baiklah. Kalu kau pasrahkan wali nikah kepadaku, aku bersedia," jawabku sekedar untuk menghibur hatinya.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Achmad!" ujarnya dengan wajah berseri-seri.

Meski aku masih sangsi dengan rencana pernikahan yang disampaikan Maunah itu, tak urung sebelum Isya aku datang ke tempat tinggalnya yang sempit itu. Ini kulakukan tak lebih agar tidak membuatnya kecewa.

Malam itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan calon pengantin pria. Entah bagaimana, Maunah begitu yakin dengan sosok yang disebutnya Om itu. Aku yang lebih sering menjadi pendengar sempat merasa geli menyimak penuturan Maunah yang seolah tidak ada habisnya bercerita tentang diri calon suaminya itu. Perasaan geli yang bercampur dengan iba.

Kurang dari setengah jam setelah adzan Isya berkumandang, pintu diketuk dari luar, disusul suara uluk salam yang terdengar berat dan dalam. Aku membalas salam itu sambil beranjak dari tempat duduk dan membuka pintu.

Anehnya, ketika pintu terbuka, aku lihat di luar tidak ada orang. Tentu saja aku jengkel, karena kuanggap ada seseorang yang sengaja usil menggoda kami. Tapi, sebelum rasa jengkel itu sempat hilang, suara yang tadi mengucapkan salam sudah terdengar lagi di dalam ruangan.

"Tutup saja pintunya. Saya sudah berada di dalam," kata suara itu, membuatku terkejut. Aku semakin terkejut ketika mengetahui di dalam ruangan tidak ada siapa-siapa, kecuali Maunah. Lalu, suara siapa sebenarnya yang kudengar barusan itu?

"Duduklah, dan tidak perlu takut. Aku calon suami Maunah. Aku dari bangsa Jin dan beragama Islam. Aku datang kesini bersama penghulu dari bangsa kami, dan meminta bantuanmu untuk bersedia menjadi wali nikah bagi Maunah," kata suara itu menjelaskan jati dirinya juga keperluannya.

Aku yang masih terbawa oleh perasaan takut, hanya mengiyakan semua perkataannya, dengan tubuh gemetar. Ketika prosesi pernikahan berjalan, tubuhku bersimbuh keringat dingin. Kesadaranku seolah hilang dari awal hingga akhir acara. Bahkan ketika pulang ke rumah, kejadian yang aneh itu terbayang terus di pelupuk mataku. Bagaimana mungkin hal yang sangat musykil itu sungguh-sungguh terjadi?

Esok harinya aku jatuh sakit. Mungkin karena terbawa oleh perasaan takut yang teramat sangat. Tapi entah kenapa, aku tidak mempunyai keberanian untuk bercerita kepada siapapun juga tentang pernikahan Maunah dengan bangsa Jin Muslim itu. Aku bahkan sengaja menghindar dengan pergi ke rumah saudara di luar kota, dua minggu lamanya.

Pulang dari luar kota, kabar tentang pernikahan Maunah sudah menjadi rahasia umum. Beberapa tetangga malah sempat memintaku bercerita tentang peristiwa pernikahan itu. Dan yang membuatku mengembangkan senyum, kabarnya kini Maunah setiap hari kebanjiran tamu. Mereka datang untuk berobat. Karena sejak pernikahan itu, Maunah dipercaya memiliki kemampuan supranatural yang dapat menyembuhan segala macam penyakit. Tentu saja kemampuan yang didapatkannya dari Jin Muslim suaminya.

Untuk membuktikannya, kau berkunjung ke tempat tinggal Maunah. Ternyata benar. Sebelum bisa bertemu dengan perempuan buta itu, aku harus antri terlebih dahulu. Tapi aku bersyukur, sifat Maunah tidak berubah meski hidupnya tidak lagi kekurangan. Dia tetap menerimaku dengan ramah, dan menuturkan banyak cerita sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Tidak hanya Maunah. Suaminyapun juga baik. Bila tidak sedang ada tamu, jin yang lebih suka dipanggi Om itu, selalu mengajakku bercengkrama. Tentu saja aku hanya bisa mendengar suaranya, sedang wujudnya tak pernah aku lihat. Aku tidak lagi takut sebagaimana saat akad nikah dulu, meski makhluk yang aku ajak berbicara tidak terlihat dengan mata. Aku bahkan merasa senang, karena dari perbincangan kami, banyak pengetahuan yang bisa aku serap, terutama pengetahuan tentang dunia gaib.

Satu hal yang membuatku merasa dihargai, Maunah dan suaminya masih suka meminta saran dan pendapatku bila sedang menghadapi masalah. Sebagaimana yang terjadi pada malam itu.

"Pak SM mau mencalonkan diri dalam pemilihan Kepala Desa bulan depan nanti. Dan dia memintaku untuk membujuk Om agar bersedia membantu Pak SM dalam pelaksanaan pemilihan nanti," tutur Maunah.

"Membantu bagaimana?" tanyaku.

"Membantu mempengaruhi kesadaran para pemilih, agar menjatuhkan pilihan mereka pada Pak SM."

"Wah, itu namanya curang!"

"Aku juga punya pikiran seperti itu," kata Om dengan wujud yang tak terlihat.

"Karena itu, tadi sebelum kamu datang, aku sempat bicara pada Maunah agar menolak permintaan Pak SM. Sebenarnya bisa saja aku melakukan perbuatan curang seperti itu. Tapi aku takut dosa. Kau tahu sendiri, selama ini aku hanya mau membantu tamu-tamu yang niat dan tujuannya baik. Bila niat dan tujuannya jelek, aku tidak pernah bersedia membantu mereka. Malahan Maunah aku suruh menasehati tamu itu. Hal itu aku lakukan tidak lain karena kau takut dosa," panjang lebar Jin Muslim itu berbicara.

"Aku sendiri sebenarnya juga tidak setuju dengan niat Pak SM. Tapi untuk menolak rasanya sulit. Selama ini dia telah banyak menolongku, utamanya memberikan tempat ini untuk aku pakai. Bila aku menolak, dia pasti akan mengusirku dari sini," Maunah berkata setengah mengeluh.

"Tidak usah takut bila Pak SM mengusirmu dari sini. Bumi Allah masih terbentang luas untuk kamu tempati," nasehat suaminya.

Akhirnya Maunah memang menolak permintaan Pak SM, dan kursi kepala desa yang diperebutkan jatuh ke tangan Parman. Sebagaimana dugaan semula, begitu gagal dalam pemilihan kepala desa, Pak SM langsung menyuruh Maunah pergi dari bekas bangunan gudang miliknya itu. Maunah tentu saja tak bisa melawan kehendak sang pemilik tempat.

Setelah meninggalkan tempat tinggalnya yang lama, Maunah ditampung untuk tinggal bersama keluarga Pak Dulalim. Pada saat itu rumah keluarga Pak Dulalim boleh dikatakan sangat berantakan. Rencana untuk memperbaiki rumah terhenti di tengah jalan karena kehabisan biaya.

Tapi beberapa bulan setelah Maunah tinggal bersama mereka, pembangunan rumah diteruskan kembali. Bahkan ketika jadi, rumah itu jauh lebih megah dari rencana sebelumnya. Apakah biaya pembangunan rumah dibantu oleh Maunah dan suaminya, ataukah hasil kerja keras dari pak Dulalim sendiri, aku kurang tahu. Karena sebulan setelah Maunah pindah, aku pergi dan tinggal di lain kota.

Berita terakhir yang aku dengar tentang diri Maunah, dia tinggal bersama saudara jauhnya bernama Asiyah di Jatiroto. Di tempat itu pula perempuan buta yang bersuamikan Jin Muslim itu meninggal dan dimakamkan.

TERBEBAS DARI CENGKRAMAN JIN KAFIR

Penulis : ITONG R. HARIADI





Pengalaman mistis dan menyeramkan ini dialami langsung oleh seorang dai di daerah, yang berkenan disamarkan namanya sebagai Nok Tiyah....



Malam itu Nok Tiyah yang baru pulang mengaji. Ia sedikit merinding ketika melewati pohon waru di pinggir kali. Sembari membaca beberapa ayat suci Al-Qur’an, Nok Tiyah berusaha menenangkan hatinya. Tapi selang beberapa langkah, tiba-tiba di hadapannya ada sebuah asap, yang semakin lama semakin menebal. Dan saat itulah, telah berdiri di hadapan Nok Tiyah, sesosok makhluk yang mengerikan.

Melihat pemandangan tak lazim di hadapannya, Nok Tiyah berusaha menenangkan dirinya dengan kembali membaca ayat suci. Tapi mulut mungilnya seolah terkunci, tak bisa berbuat apa-apa.

“Tenang saja, gadis ayu, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin kenalan denganmu,” ujar makhluk itu sembari tertawa.

Di tengah kebingungan yang melanda, tanpa disadari Nok Tiyah, wajah seram itu berubah wujud menjadi seorang kakek berjenggot panjang. Lelaki tua itu mengenakan jubah panjang berwarna putih. Dia mengatakan bahwa Nok Tiyah bisa memanggilnya dengan sebutan Ki Warudinata, jika gadis itu membutuhkan sesuatu. Setelah mengucapkan kata-kata, kakek berjubah putih tadi menghilang.

Nok Tiyah yang terpaku, kemudian langsung ambruk ke tanah.

Aneh, ejak mengalami peristiwa di pinggir kali itu, Nok Tiyah sering terlihat melamun. Karena itulah ia memutuskan untuk sementara waktu menghentikan kegiatan mengajinya.

Pada suatu hari Nok Tiyah sedang asyik duduk di teras rumahnya. Ia melihat Sarwanti, gadis tetangganya yang lumpuh akibat tertabrak sebuah angkot. Gadis itu sedang berjemur di depan rumahnya. Melihat keadaan tetangganya yang memelas, timbul rasa iba di hati Nok Tiyah. Saat itulah Nok Tiyah teringat akan ucapan mahkluk halus penunggu pohon waru yang siap membantunya kapan saja. Nok Tiyah ingin membuktikan ucapan kakek tua yang mengaku bernama Ki Warudinata.

Nok Tiyah berniat menyembuhkannya. Sambil berkomat-kamit dia memanggil Ki Warudinata untuk membantunya menyembuhkan penyakit yang diderita Sarwanti.

Ketika Nok Tiyah memejamkan mata, Sarwanti merasakan ada sebuah kekuatan aneh seperti sengatan listrik yang mengaliri seluruh tubuhnya. Dengan sigap, Nok Tiyah menempelkan telapak tangannya pada kedua kaki Sarwanti. Setelah setengah jam menempelkan tangannya, Nok Tiyah mengatakan bahwa Sarwanti sudah bisa berdiri. Aneh, ternyata memang benar.

Seiring dengan perkembangan waktu, kejadian yang menimpa Sarwanti segera tersebar ke seluruh penjuru Desa Sukajadi. Tak bisa dibendung lagi, semakin banyak orang yang ingin minta pertolongan Nok Tiyah.

Yang terjadi kemudian, dari hari ke hari, tamu yang datang ke rumah Nok Tiyah seperti air yang mengalir. Dengan semakin banyaknya tamu yang datang, perubahan demi perubahan terjadi. Nok Tiyah telah mampu membangun rumah di sisi halaman rumah orang tuanya yang miskin. Nok Tiyah yang dikenal gadis lugu yang pemalu, kini telah berubah menjadi gadis cantik yang lumayan berada.

“Kalau dibiarkan saja akan jadi petaka bagi Nok Tiyah sendiri. Dia telah terpengaruh oleh jin. Anak kalian akan terus menjadi budaknya. Selamanya Nok Tiyah akan terus percaya kepadanya dan melupakan Allah,” jelas Kiai Maksum kepada kedua orang tua Nok Tiyah yang telah menjelma menjadi dukun parewangan itu.

Mendengar perkataan Kiai maksum, orang tua Nok Tiyah jadi ketakutan, sebab mereka tidak mau anak semata wayangnya menjadi budak setan. Keduanya langsung meminta bantuan pada sang Kyai untuk segera memusnahkan semua ilmu yang dimiliki Nok Tiyah.

Malam itu, setelah sembayang Isya berjamaah, tanpa banyak bicara, Kyai yang berusia setengah abad itu langsung mengajak salah satu santrinya untuk pergi ke rumah orang tua Nok Tiyah. Ketika sampai di halaman rumah Nok Tiyah, betapa terkejutnya sang Kyai. Secara tiba-tiba, Nok Tiyah yang duduk di teras ruang tamu langsung menyerangnya dengan sebilah belati. Untuk dia bisa dibekuk dan langsung diikat di sebuah kursi. Ketika itulah dari tubuh Nok Tiyah keluar asap yang kemudian menjelma menjadi sosok makhluk menyeramkan. Kecuali Kyai Maksum, semua yang hadir segera mundur ketakutan.

"Aku paling tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain!” geram mahkluk menyeramkan itu sambil menyerang sang Kyai.

Mendapat serangan mendadak seperti itu, sang Kyai hanya berkelit sedikit. Bahkan dengan tasbihnya dia menyerang balik. “Allahu Akbar!” pekik Kyai Maksum sambil terus memukulkan tasbihnya ke arah makhluk hitam itu. Persis ketika biji tasbih menyentuh tubuhnya, makhluk halus itu langsung menjerit histeris.

Bersamaan dengan itu Nok Tiyah jatuh pingsan. Setelah siuman, Kyai Maksum mengatakan bahwa Nok Tiyah sekarang bukan lagi sebagai budak jin penunggu pohon waru. Ia harus seperti dulu, kembali menjalankan perintah agama dan giat mengaji.

TIGA MALAM DIBAWA HANTU PABURU PENGHUNI SINGALANG KARIANG

Penulis : ADRIANWAR





Aneka keanehan kerap terjadi di tikungan jalan yang cukup angker ini. Salah satunya adalah keberadaan hantu Pabaru yang senang menculik manusia....



Nama Singalang Kariang, mungkin tak akan asing lagi bagi orang yang pernah melintasi jalan protokol yang menghubungkan Padang-Bukit Tinggi, atau Padang-Batusangkar di daerah Sumatera Barat. Ketajaman tikungan dan ketinggian tanjakan menjadi fenomena bagi sopir-sopir truk dan bus yang melintasi jalan ini. Tapi bukan hanya tajamnya tikungan dan tanjakan saja yang berkesan bagi orang-orang yang pernah melewatinya. Kejadian mistis yang beragam juga bisa dijumpai disana.

Bermacam cerita tentang angkernya lokasi ini seakan tak pernah ada hentinya, terutama dituturkan oleh sopir-sopir. Ada yang mengaku prenah melihat harimau besar penunggu tanjakan, ada juga yang mengaku pernah melihat makhluk tinggi besar yang dipenuhi bulu hitam menyebarang jalan.

Walau lokasi ini sangat terkenal keangkerannya. Buktinya, ada juga pedagang asongan yang menjadikan tempat ini sebagai areal usaha mereka. Singalang Kariang sebagai halte penungguan bus menjadi tempat mereka menjajakan dagangan.

Ada kisah mistis menarik sekaitan dengan aktivitas para pedangang asongan itu. Salah seorang di antara mereka, pernah disekap selama tiga malam oleh Pabaru, hantu yang terkenal di daerah itu. Nah, Penulis menuturkan kisahnya seperti berikut ini....

Kerasnya tuntutan hidup, membuat kami melupakan rasa takut. Beberapa orang di antara kami pedagang asongan, jarang yang berani turun di lokasi Singalang Kariang pada malam hari. Dari tujuh puluh orang yang biasa berjualan dilokasi itu pada siang hari, cuma ada empat orang yang mempunyai keberanian untuk berjualan pada malam hari.

Salah satu dari keempat pengasong itu adalah Dedi Rahmat. Entah datang dari mana keberaniannya, dia seperti tak pernah terpengaruh dengan cerita-cerita yang beradar di Singgalang Kariang.

Dedi Rahmat, sepulang berjualan sering bekerja sebagai Banpol (semacam polisi cepek-Red) ditanjakan Singalang Kariang. Memang, tanpa bantuan dari Banpol, truk-truk yang bermuatan berat sedikit ragu untuk menaiki tanjakan. Dari sejumlah Banpol itu, hanya Dedi Rahmat yang berani bekerja sampai larut malam.

Merasa bekerja sebagai Banpol lebih mendatangkan hasil, Dedi meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai pedagang asongan. Setaip malam dia menjadi "polisi cepek" di areal tanjakan angker itu. Karena keberaniannya ini, para pedagang asongan yang berjualan malam hari menjadi bertambah banyak.

Memang Dedi terkenal sangat pemberani. Ia mengaku telah banyak melihat wujud penghuni Singalang Kariang. Misalnya saja, dia pernah melihat bola api yang melintasi jalur itu. Bahkan dia juga pernah didatangi makhluk tinggi besar yang menyerupai gorila. Pernah pula melihat tiga orang bocah telanjang yang sedang bermain-main ditepi jalan.

Berkat keberanian yang dimilikinya Dedi tak pernah lari dan berniat untuk menghentikan pekerjaannya sebagai Banpol.

***



Jum'at sore. Waktu itu hujan turun sangat lebat. Bus yang melintasi Singalang Kariang tiba-tiba terperosok di tepi jalan. Banyak penumpang mengalami luka-luka, dan tiga orang meninggal dunia. Sedangkan sopir bus dapat selamat tanpa sedikitpun luka. Sopir itu mengatakan kecelakaan itu terjadi disebabkan oleh keterkejutannya ketika melihat bayangan hitam melintas di jalan, hingga secara reflek kakinya menginjak rem dan stir dibantingkan ke kiri, sehingga membentur tembok pengaman. Silaing Kariang semakin seram akibat kejadian itu.

Baru sehari setelah kejadian, dua orang pemuda yang melintasi jalan itu dengan menggunakan kendaraan Kijang Super, pingsan di atas tanjakan. Ketika mereka siuman, mereka menceritakan kalau mereka baru saja menabrak dua orang anak kecil yang melintas di jalan itu.

Mendengar laporan kejadian, orang-orang yang pernah melihat sesuatu di sana sangat membuat pedagang asongan takut.

Malam minggu waktu itu, aku (Penulis) turun di Singalang Kariang kira-kira pukul 22.00 WIB. Kendaraan masih ramai. Maklum malam minggu.

Aku duduk di tembok jalan sambil melihat ramainya jalan. Tapi entah apa yang membuatku sangat ingin berjalan mendekati batu cadas di depan tempatku duduk. Dan saat itu aku melihat seorang berpakaian serba hitam, membawa dua ekor anjing. Aku mendekatinya tapi dia menjauh dariku.

Ketika aku berhenti mendekatinya, dia pun berhenti seakan memberiku waktu untuk terus mendekati. Aku pun berjalan kembali untuk mendekatinya. Dia pun berjalan kembali untuk menjauhiku, begitu seterusnya.

Entah berapa jauh jarak yang aku tempuh untuk mengikutinya. Aku tak tahu pasti. Yang jelas, dalam perjalanan itu aku banyak melewati rumah-rumah mewah bagaikan melintasi sebuah kota besar. Padahal, dalam keadaan normal di tempat itu tidak ada rumah mewah dan tempatnya juga cukup sepi.

Sesampai di sebuah rumah, yang rupanya rumah milik orang yang kuikuti, kulihat orang itu memasukkan anjing-anjingnya ke kandang, Anehnya, dia juga membawa aku masuk ke rumahnya.

Walau kami seperti sudah saling mengenal, namun tak ada percakapan yang terjadi antara aku dengannya. Ketika aku masuk ke rumah itu, aku disuguhi minuman dan makanan. Bahkan kemudian aku diajak bertamu ke rumah-rumah mewah yang dia katakan sebagai tetangganya.

Setelah berkeliling, aku kemudian dipersilahkan tidur di salah satu kamar. Entah berapa lama aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di pangkuan pak tua yang menyelamatkan aku. Pak Tua itu telah menemukanku tidur diatas dahan kayu yang tak terlalu besar untuk menahan tubuhku.

Pak Tua yang kemudian kuketahui bernama Pendi Khatik Marajo itu mengatakan, bahwa ia menemukanku ketika hendak mencari daun untuk ramuan obat. Dia melihatku tertidur diatas dahan kayu dengan pulasnya.

Karena telah mengerti apa yang telah terjadi, Pak Pendi segera memajat pohon itu dan membawaku turun. Dengan keahlian yang dimilikinya dia membaca mantra untuk membebaskan aku dari pengaruh setan.

Aku menceritakan apa yang bisa kuingat kepada Pak Pendi tanpa satupun yang tersisa. Pak Pendi memberiku ramuan yang harus kuminum untuk membersihkan perutku dari jamuan setan yang telah termakan olehku.

Kemudian Pak Pendi menceritakan kepadaku kalau yang telah membawaku itu adalah hantu Paburu. Pak Pendi juga mengatakan kalau aku bernasib mujur, karena jarang orang yang telah dibawa berhari-hari dapat ditemukan kembali. Bulu kudukku merinding mendengar cerita Pak Pendi barusan. Rupanya, aku telah dibawa selama tiga hari tiga malam dan telah banyak memakan ramuan-ramuan setan itu.

Semenjak kejadian itu aku berubah total. Aku tak punya keberanian lagi untuk berjualan malam, apalagi bekerja sebagai Banpol di Singgalang Kariang.

Tiga bulan setelah kejadian itu, tepatnya ketika dua hari memasuki bulan suci Ramadhan tahun 2003, Dedi yang terkenal dengan keberaniannya kerasukan setan di lokasi Singalang Kariang itu.

Dedi yang semula sangat pendiam berubah 90 derajat. Dia sangat suka bercerita, tapi ceritanya suka ngawur. Dedi dirawat di rumah sakit. Tapi setelah tak ada perubahan, Dedi dibawa pulang ke rumahnya dan didatangkan orang pintar untuk mengobatinya.

Namun, tak satupun orang pintar yang dapat menyembuhkannya. Menurut orang-orang pintar yang pernah merawatnya, Dedi dirasuki oleh penunggu Singalang Kariang, memang suara Dedi sering berubah-rubah ketika berbicara. Tapi aku menjadi bertanya sendiri dalam hatiku apa benar tubuh manusia bisa dimasuki makhluk lain lebih dari satu makhluk?

Kian hari Dedi kian lupa dengan jati dirinya. Dia sering menyebutkan perkataan yang aneh-aneh, kadang dia berbahasa Inggris dan kadang bahasa Jawa.

Ketika ditinggal sendirian di rumah ketika semua orang pergi mengikuti shalat sunnah Idul Fitri, Dedi berlari keluar rumah sambil membawa sejerigen minyak tanah dan sebungkus korek api. Ia memandikan diri dengan minyak tanah ke sekujur tubuhnya dan menyalakan korek api untuk membakar tubuhnya.

Api segera membakar tubuhnya. Tetangga yang melihat api yang berjalan, segera berupaya memadamkannya ketika tahu kalau Dedi lah yang berada di balik api tersebut. Api dapat dipadamkan dan Dedi tersungkur jatuh dengan badan melepuh.

Dedi dilarikan ke rumah sakit yang berada di kota Bukit Tinggi. Kemacetan jalan karena ramainya kendaraan di jalan dihari lebaran itu membuat aku dan kawan-kawan menangis menahan haru, mendengar suara erangan kesakitan yang keluar dari mulut Dedi.

Kami sangat menyayangkan apa yang telah terjadi pada Dedi. Padahal dia seorang pemberani dan bertanggung jawab. Demi menghidupi keluarganya dia menghapus rasa takut di hatinya.

Hampir satu tahun aku tak berani untuk menceritakan peristiwa yang pernah kualami. Keanngkeran Singalang Kariang yang sebelumnya hanya kuanggap hanya cerita untuk menakut-nakuti saja, tapi semuanya telah aku alami, ditambah lagi aku harus kehilangan Dedi yang mati secara tragis akibat membakar dirinya sendiri.

Aku menuliskan semua ini setelah mengumpulkan keberanianku. Aku merasa semua ini lebih baik diketahui banyak orang untuk menghilangkan kesombongan seperti yang kami alami selama ini.

HANTU CIN PIT PENGUASA JALAN SETAPAK

Penulis : L. RAMLI





Hantu ini kerap muncul dengan wajah murung. Konon, dia mencari keluarganya yang hilang. Bagaimana kisah mistisnya....



Hantu bermata sipit atau lebih dikenal dengan sebutan hantu Cin Pit ini, kalau malam hari suka menamapakkan diri. Warga setempat sering melihatnya, kalau kebetulan lewat menuju jalan setapak, kurang lebih 100 meter dari perumahan warga.

Di sebuah sudut kampung desa Sindang Kasih, Majalengka, beberapa tahun yang lalu, warga sekitar sempat dihebohkan dengan munculnya kabar hantu wanita cantik. Hantu wanita yang belakangan diketahui sebagai penunggu jalan setapak, yang terletak berdampingan dengan aliran sungai sebelah timur desa Sindang Kasih, kabarnya tengah mencari keluarganya yang hilang.

Entah peristiwa pahit apa yang menimpa keluarga sang hantu ini. Setiap malam, dia selalu tampak murung bahkan berkadang suka menangis. Dia duduk "emok" sendirian di jalan setapak itu, hingga keberadaannya sempat membuat warga sekitar ketakutan.

"Sepertinya, sang hantu sengaja menampakkan wujudnya kepada manusia. Seolah dia ingin berbagi kesedihan dengan kami-kami ini," tutur Dirja, seorang warga yang bermukim tak jauh dari area sungai.

Ia menuturkan, sebenarnya sudah sejak lama jalan setapak yang menghubungkan arah ke sungai Sindang ini dikenal angker. Masyarakat setempat menganggap keangkeran jalan itu dikarenakan dulunya ada sebuah sumur, yang sengaja digali bukan untuk mendapatkan sumber air, melainkan digunakan untuk tempat membuang mayat manusia.

Konon, mayat-mayat yang dibuang di sumur itu adalah keturunan Cina. Mereka mati dibunuh warga pribumi, karena diduga bersengkongkol dengan orang-orang komunis (PKI). Termasuk mayat seorang gadis Cina yang juga mati dibunuh dan dikubur di sumur itu. Disatukan dengan mayat keluarganya.

Sekarang sumur itu sudah tidak ada karena diratakan menjadi jalan setapak. Namun akibat dari itu, jalan yang menghubungkan ke sungai Sindang ini kurang berfungsi, khususnya malam hari. Sebab menurut kesaksian, menjelang Maghrib hingga tengah malam, di areal jalan kerap terjadi penampakkan makhluk halus. Dan rata-rata yang sering dilihat para saksi mata adalah wujud perempuan cantik berpakaian ala China, sedang berdiri atau duduk sambil menutupi wajahnya.

"Aku sering menjumpai hantu Cin-Pit ini sedang bergelayut di sebuah batang pohon, lalu turun dan berdiri di tengah-tengah jalan. Mulutnya selalu menyebut-nyebut sebuah nama yang sepertinya sangat dicintainya. Nama siapa lagi kalau bukan dari keluarganya yang mati akibat dibunuh itu," jelas pak Dirja yang mengaku tahu betul tentang peristiwa penguburan mayat orang Cina, yang terjadi sekitar tahun 1968 silam.

Diceritakan Pak Dirja, peristiwa tragis itu terjadi pada saat warga kampung diresahkan oleh sekelompok pemberontak negara (komunis), yang pada bulan Juli 1965 sebelumnya berhasil memporak-porandakan warga Sindang Kasih terutama keluarga para Kyai, yang saat itu dibantai secara keji.

Sebelum penyerangan, rupanya keluarga Tang Soe Kim bersengkongkol dengan orang komunis, lalu memberitahukan keberadaan rumah yang ditempati para Kyai yang diduga sebagai penghasut masa untuk menbenci gerakan mereka.

Karena terungkap keluarga Tang Soe Kim, merupakan penyebab kematian para pemuka agama, diam-diam warga sekitar menaruh benci pada keluarga bermata sipit itu. Tepat di bulan Agustus 1968, rencana warga untuk membunuh keluarga Tang Soe Kim pun berhasil dilaksanakan. Nyaris tidak ada yang tersisa, mereka mati dibunuh secara keji pula di tangan pribumi.

Namun rupanya, peristiwa mengenaskan itu tak diduga bakal berbuntut lain. Roh-roh orang Cina yang telah dikubur di dalam sebuah sumur, ternyata kalau malam hari suka bergentayangan tak jauh dari tempat itu.

Praktis, dalam seminggu sejak berita kematiannya, para warga selalu diteror dan ditakut-takuti. Bahkan banyak warga yang jatuh pingsan ketika secara tak sengaja bertemu sosok makhluk halus di jalan setapak, yang di dalamnya terdapat mayat-mayat orang Cina itu.

Akhirnya sejak kurun itu, praktis tak ada lagi yang berani lewat ke jalan tersebut, khususnya malam hari. Akibat sering terjadinya peristiwa ganjil di jalan setapak itu, akhirnya pada tahun itu juga warga mendatangkan orang pintar untuk menyempurnakan roh-roh orang Cina yang suka bergentayangan, dimana pemunculannya kerap merasahkan warga.

Orang pintar yang sengaja diundang pun menyanggupinya dan segeralah melaksanakan ritual khusus sendirian di waktu tengah malam, dengan menggelar tikar peris letaknya di tengah jalan setapak.

Hasilnya cukup menggembirakan. Hingga tahun 2000, nyaris tak ada warga Sindang Kasih yang bertemu hantu penasaran itu. Cuman, dari tahun 2000 hingg sekarang, konon ada sebagian warga yang sempat menjumpai lagi hantu wanita yang berkeliaran tak jauh dari areal itu. Tapi karena dianggap tidak cukup mengganggu, warga pun membiarkannya.

"Kami yakin hantu wanita yang suka muncul dan maujud masih dari keturunan keluarga Tang Soe Kim, dan terbukti tidak mengganggu kenyamanan kami," tutur Endang, anak sulung pak Dirja yang tarut berbincang bersama penulis.

Dijelaskan olehnya, keberadaan hantu tersebut akan terus bergentayangan untuk mencari keluarganya yang hilang. Sungguh malang nasib hantu wanita ini.

Penulis : ENNY JIP Siapapun yang berutang kepada rentenir itu sudah pasti tidak akan pernah sanggup membayarnya. Utang yang tak berbayar bakal diteb

Penulis : L. RAMLI





Hantu ini kerap muncul dengan wajah murung. Konon, dia mencari keluarganya yang hilang. Bagaimana kisah mistisnya....



Hantu bermata sipit atau lebih dikenal dengan sebutan hantu Cin Pit ini, kalau malam hari suka menamapakkan diri. Warga setempat sering melihatnya, kalau kebetulan lewat menuju jalan setapak, kurang lebih 100 meter dari perumahan warga.

Di sebuah sudut kampung desa Sindang Kasih, Majalengka, beberapa tahun yang lalu, warga sekitar sempat dihebohkan dengan munculnya kabar hantu wanita cantik. Hantu wanita yang belakangan diketahui sebagai penunggu jalan setapak, yang terletak berdampingan dengan aliran sungai sebelah timur desa Sindang Kasih, kabarnya tengah mencari keluarganya yang hilang.

Entah peristiwa pahit apa yang menimpa keluarga sang hantu ini. Setiap malam, dia selalu tampak murung bahkan berkadang suka menangis. Dia duduk "emok" sendirian di jalan setapak itu, hingga keberadaannya sempat membuat warga sekitar ketakutan.

"Sepertinya, sang hantu sengaja menampakkan wujudnya kepada manusia. Seolah dia ingin berbagi kesedihan dengan kami-kami ini," tutur Dirja, seorang warga yang bermukim tak jauh dari area sungai.

Ia menuturkan, sebenarnya sudah sejak lama jalan setapak yang menghubungkan arah ke sungai Sindang ini dikenal angker. Masyarakat setempat menganggap keangkeran jalan itu dikarenakan dulunya ada sebuah sumur, yang sengaja digali bukan untuk mendapatkan sumber air, melainkan digunakan untuk tempat membuang mayat manusia.

Konon, mayat-mayat yang dibuang di sumur itu adalah keturunan Cina. Mereka mati dibunuh warga pribumi, karena diduga bersengkongkol dengan orang-orang komunis (PKI). Termasuk mayat seorang gadis Cina yang juga mati dibunuh dan dikubur di sumur itu. Disatukan dengan mayat keluarganya.

Sekarang sumur itu sudah tidak ada karena diratakan menjadi jalan setapak. Namun akibat dari itu, jalan yang menghubungkan ke sungai Sindang ini kurang berfungsi, khususnya malam hari. Sebab menurut kesaksian, menjelang Maghrib hingga tengah malam, di areal jalan kerap terjadi penampakkan makhluk halus. Dan rata-rata yang sering dilihat para saksi mata adalah wujud perempuan cantik berpakaian ala China, sedang berdiri atau duduk sambil menutupi wajahnya.

"Aku sering menjumpai hantu Cin-Pit ini sedang bergelayut di sebuah batang pohon, lalu turun dan berdiri di tengah-tengah jalan. Mulutnya selalu menyebut-nyebut sebuah nama yang sepertinya sangat dicintainya. Nama siapa lagi kalau bukan dari keluarganya yang mati akibat dibunuh itu," jelas pak Dirja yang mengaku tahu betul tentang peristiwa penguburan mayat orang Cina, yang terjadi sekitar tahun 1968 silam.

Diceritakan Pak Dirja, peristiwa tragis itu terjadi pada saat warga kampung diresahkan oleh sekelompok pemberontak negara (komunis), yang pada bulan Juli 1965 sebelumnya berhasil memporak-porandakan warga Sindang Kasih terutama keluarga para Kyai, yang saat itu dibantai secara keji.

Sebelum penyerangan, rupanya keluarga Tang Soe Kim bersengkongkol dengan orang komunis, lalu memberitahukan keberadaan rumah yang ditempati para Kyai yang diduga sebagai penghasut masa untuk menbenci gerakan mereka.

Karena terungkap keluarga Tang Soe Kim, merupakan penyebab kematian para pemuka agama, diam-diam warga sekitar menaruh benci pada keluarga bermata sipit itu. Tepat di bulan Agustus 1968, rencana warga untuk membunuh keluarga Tang Soe Kim pun berhasil dilaksanakan. Nyaris tidak ada yang tersisa, mereka mati dibunuh secara keji pula di tangan pribumi.

Namun rupanya, peristiwa mengenaskan itu tak diduga bakal berbuntut lain. Roh-roh orang Cina yang telah dikubur di dalam sebuah sumur, ternyata kalau malam hari suka bergentayangan tak jauh dari tempat itu.

Praktis, dalam seminggu sejak berita kematiannya, para warga selalu diteror dan ditakut-takuti. Bahkan banyak warga yang jatuh pingsan ketika secara tak sengaja bertemu sosok makhluk halus di jalan setapak, yang di dalamnya terdapat mayat-mayat orang Cina itu.

Akhirnya sejak kurun itu, praktis tak ada lagi yang berani lewat ke jalan tersebut, khususnya malam hari. Akibat sering terjadinya peristiwa ganjil di jalan setapak itu, akhirnya pada tahun itu juga warga mendatangkan orang pintar untuk menyempurnakan roh-roh orang Cina yang suka bergentayangan, dimana pemunculannya kerap merasahkan warga.

Orang pintar yang sengaja diundang pun menyanggupinya dan segeralah melaksanakan ritual khusus sendirian di waktu tengah malam, dengan menggelar tikar peris letaknya di tengah jalan setapak.

Hasilnya cukup menggembirakan. Hingga tahun 2000, nyaris tak ada warga Sindang Kasih yang bertemu hantu penasaran itu. Cuman, dari tahun 2000 hingg sekarang, konon ada sebagian warga yang sempat menjumpai lagi hantu wanita yang berkeliaran tak jauh dari areal itu. Tapi karena dianggap tidak cukup mengganggu, warga pun membiarkannya.

"Kami yakin hantu wanita yang suka muncul dan maujud masih dari keturunan keluarga Tang Soe Kim, dan terbukti tidak mengganggu kenyamanan kami," tutur Endang, anak sulung pak Dirja yang tarut berbincang bersama penulis.

Dijelaskan olehnya, keberadaan hantu tersebut akan terus bergentayangan untuk mencari keluarganya yang hilang. Sungguh malang nasib hantu wanita ini.